مَا جَعَلَ اللّٰهُ مِنْۢ بَحِيْرَةٍ وَّلَا سَاۤىِٕبَةٍ وَّلَا وَصِيْلَةٍ وَّلَا حَامٍ ۙوَّلٰكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ وَاَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ ( المائدة: ١٠٣ )
Mā Ja`ala Allāhu Min Baĥīratin Wa Lā Sā'ibatin Wa Lā Waşīlatin Wa Lā Ĥāmin Wa Lakinna Al-Ladhīna Kafarū Yaftarūna `Alaá Allāhi Al-Kadhiba Wa 'Aktharuhum Lā Ya`qilūna. (al-Māʾidah 5:103)
Artinya:
Allah tidak pernah mensyariatkan adanya Bahirah, Sa'ibah, Washilah dan Ham. Tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS. [5] Al-Ma'idah : 103)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Ayat ini menjelaskan tentang kaum kafir Mekah yang membuatbuat kedustaan kepada Allah. Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi, dan tidak boleh diambil air susunya. Allah juga tidak mensyariatkan sa ibah, yaitu unta betina yang dibiarkan bebas karena suatu nazar. Masyarakat Arab Jahiliah ketika hendak melakukan sesuatu atau perjalanan jauh biasa bernazar menjadikan unta mereka sa'ibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat. Tidak ada juga syariat tentang wasilah, yaitu jika seekor domba betina melahirkan anak kembar dampit, maka anak yang jantan disebut wasilah; ia tidak boleh disembelih, melainkan harus dipersembahkan kepada berhala. Allah juga tidak mensyariatkan ham, yaitu unta jantan yang tidak boleh diganggu lagi karena telah membuahi unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahirah, sa'ibah, washilah, dan ham adalah kepercayaan Arab Jahiliah; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah dengan meyakini bahwa semuanya merupakan ketetapan Allah; dan kebanyakan mereka tidak mengerti sedikit pun makna dan maksud dari mitologi tersebut.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak pernah menetapkan haramnya beberapa hal yang berlaku dalam adat jahiliah seperti haramnya bermacam-macam hewan sehingga mereka tidak makan dagingnya. Hanya mereka sendiri saja yang menetapkan haramnya makan daging hewan-hewan tersebut. Tetapi mereka mengatakan bahwa ketentuan itu datang dari Allah. Hewan-hewan tersebut adalah sebagai berikut:
a.Bahirah, yaitu unta betina yang telah melahirkan anak lima kali, dan anaknya yang kelima betina. Menurut adat jahiliah, unta betina semacam itu mereka belah telinganya, kemudian mereka lepaskan, dan tidak boleh lagi dipakai untuk kendaraan, dan tidak boleh diambil air susunya.
b.Saibah, yaitu unta betina yang dilepas pergi ke mana saja, tidak boleh dipakai untuk kendaraan atau membawa beban, dan tidak boleh diambil bulunya, dan tidak boleh pula diambil air susunya, kecuali untuk tamu. Menurut adat jahiliah, ini dilakukan untuk menunaikan nazar. Apabila seseorang di antara mereka melakukan sesuatu pekerjaan berat, atau perjalanan yang jauh, maka mereka bernazar, bahwa ia akan menjadikan untanya sebagai saibah, jika pekerjaannya itu berhasil dengan baik, atau perjalanannya itu berlangsung dengan selamat.
c.Wasilah, yaitu kambing atau unta betina yang lahir kembar dengan saudaranya yang jantan. Menurut adat jahiliah juga, apabila seekor kambing betina melahirkan anak kembar jantan dan betina, dan yang betina mempunyai anak betina lagi, maka anaknya yang betina itu disebut "wasilah", tidak boleh disembelih, dan tidak boleh dipersembahkan kepada berhala.
d.ham, ialah unta jantan yang telah berjasa menghamilkan unta betina sepuluh kali. Menurut adat jahiliah, unta jantan semacam itu tidak boleh lagi diganggu, misalnya disembelih, atau digunakan untuk maksud apapun, tetapi harus dipelihara dengan baik. Ia tak boleh dicegah untuk minum air atau makan rumput dimanapun yang disukainya di mana saja.
Demikianlah antara lain beberapa adat jahiliah mengenai bermacam-macam hewan yang tidak boleh dimakan. Mereka mengatakan, bahwa ketentuan itu adalah dari Allah, dan menjadi syariat agama. Maka dalam ayat ini Allah membantahnya, dan menegaskan bahwa orang-orang kafir sendiri yang menetapkan ketentuan itu, dengan demikian, mereka telah mengadakan kebohongan terhadap Allah.
Di kalangan masyarakat muslim Indonesia, fenomena antropologi yang berkembang di lingkungan orang-orang Arab jahiliah ini muncul dalam bentuk pantangan-pantangan, pamali-pamali, dan lain-lain. Tidak sedikit larangan atau pantangan tertentu demikian mengakar kuat di masyarakat muslim, padahal masalahnya sama sekali tidak memiliki dasar ajaran agama. Hal-hal yang dipamalikan itu semata-mata merupakan produk tradisi setempat turun temurun yang kebenarannya tidak didukung oleh agama. Informasi antropologis yang disampaikan Allah dalam ayat 103-104 Surah al-Ma'idah/5 tersebut mengandung pelajaran yang sangat penting bagi masyarakat muslim di mana pun untuk tidak terus memelihara pantangan-pantangan, karena hal itu tidak dilarang Allah. Jika hal semacam itu terus berlanjut berarti masyarakat itu telah melakukan kedurhakaan kepada Allah.
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa kebanyakan orang-orang kafir tidak menggunakan akal pikirannya. Sebab, jika mereka mau menggunakan akal sehat mereka, niscaya mereka tidak akan membuat kebohongan terhadap Allah, dan juga tidak akan mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, Abu Hurairah telah berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Aktsam bin al-Jaun, "Hai Aktsam, neraka telah diperlihatkan kepadaku, maka tampak olehku dalam neraka itu Amru bin Luhay, Ibnu Qam'ah bin Khinzif sedang menarik ususnya. Maka aku tidak melihat seorang pun selain engkau yang lebih mirip dengannya." Maka Aktsam berkata, "Aku merasa takut kalau-kalau kemiripanku dengannya akan mendatangkan suatu bahaya atas diriku." Rasulullah menjawab, "Tidak, sebab engkau mukmin, sedangkan dia kafir; dialah orang pertama yang mengubah agama Nabi Ismail, dan dialah orang pertama yang menetapkan ketentuan tentang bahirah, saibah, wasilah dan ham."
Dari riwayat ini dapat diambil pengertian bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam syariat agama, misalnya mengharamkan makanan yang dihalalkan Allah, atau membuat tradisi yang bertentangan dengan agama, atau mengadakan peribadatan yang tidak ditetapkan oleh agama sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh ridaNya, maka perbuatan tersebut sama dengan perbuatan 'Amru bin Luhay. Padahal cara-cara yang sah untuk menyembah Allah telah ditetapkanNya dan telah disampaikan oleh Rasul-Nya. Maka setiap peribadatan dan penetapan hukum haruslah berdasarkan nash Al-Qur'an atau ketetapan Rasul. Seseorang tidak boleh menambah atau mengurangi menurut kemauannya sendiri.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa al-bahirah ialah unta betina yang air susunya tidak boleh diperah oleh seorang pun karena dikhususkan hanya untuk berhala mereka saja. Saibah ialah ternak unta yang dibiarkan bebas demi berhala-berhala mereka, dan tidak boleh ada seorang pun yang mempekerjakannya serta memuatinya dengan sesuatu pun. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku melihat Amr ibnu Amir Al-Khuza'i menyeret isi perutnya di neraka, dia adalah orang yang mula-mula mengadakan peraturan hewan saibah. - Kembali ke perkataan Sayid Al-Mussayab, Al-wasilah ialah unta betina yang dilahirkan oleh induknya sebagai anak pertama, kemudian anak keduanya betina pula. Mereka menjadikannya sebagai unta saibah, dibiarkan bebas untuk berhala-berhala mereka, jika antara anak yang pertama dan yang kedua tidak diselingi dengan jenis jantan. Sedangkan ham ialah unta pejantan yang berhasil menghamili beberapa ekor unta betina dalam jumlah yang tertentu. Apabila telah mencapai bilangan yang ditargetkan, maka mereka membiarkannya hidup bebas dan membebaskannya dari semua pekerjaan, tidak lagi dibebani sesuatu pun, dan mereka menamakannya unta Kami.
Begitu pula menurut riwayat Imam Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Ibrahim ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, Abul Yaman pernah mengatakan kepadanya bahwa telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id menceritakan hal tersebut. Sa'id mengatakan, Abu Hurairah telah meriwayatkan dari Nabi Saw. hal yang semisal. Ibnul Had telah meriwayatkannya dari ibnu Syihab, dari Sa'id, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Imam Hakim mengatakan, Imam Bukhari bermaksud bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnul Had meriwayatkannya dari Abdul Wahhab ibnu Bukht, dari Az-Zuhri. Demikianlah menurut apa yang diceritakan oleh guru kami —Abul Hajjaj Al-Mazi— di dalam kitab Al-Atraf-nya. Abul Hajjaj diam, tidak memberikan komentarnya.
Sehubungan dengan apa yang dikatakan oleh Imam Hakim, ada hal yang masih perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya Imam Ahmad dan Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Lais ibnu Sa'id, dari Ibnul Had, dari Az-Zuhri sendiri.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Ya'qub Abu Abdullah Al-Kirmani, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku telah melihat neraka Jahanam, sebagian darinya menghantam sebagian yang lain, dan aku melihat Amr menyeret isi perutnya, dia adalah orang yang mula-mula mengadakan hewan saibah.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ibrahim ibnul Haris, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda kepada Aksam ibnul Jun: Hai Aksam, aku melihat Amr ibnu Luhay ibnu Qum'ah ibnu Khandaf menyeret isi perutnya di neraka. Dan aku tidak pernah melihat seorang lelaki yang lebih serupa dengannya selain kamu, dia pun mirip sekali dengan kamu. Aksam berkata, "Apakah engkau khawatir aku tertimpa mudarat karena serupa dengan dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak, karena sesungguhnya engkau adalah orang mukmin, sedangkan dia adalah orang kafir. Sesungguhnya dia adalah orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim, dan mengadakan hewan bahirah, hewan saibah, dan hewan ham.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad, dari Abdah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang serupa atau semisal dengannya. Tetapi kedua jalur ini tidak ada di dalam kitab-kitab hadis.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Majma', telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya orang yang mula-mula membiarkan hewan saibah dan menyembah berhala ialah Abu Khuza'ah, yaitu Amr ibnu Amir, dan sesungguhnya aku melihatnya sedang menyeret isi perutnya di dalam neraka.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid dari segi ini.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui orang yang mula-mula membiarkan hewan saibah dan orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim as. Mereka bertanya, "Siapakah dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Amr ibnu Luhay, saudara Bani Ka'b. Sesungguhnya aku melihat dia sedang menyeret isi perutnya di neraka, baunya menyakitkan semua penghuni neraka. Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui orang yang mula-mula membiarkan hewan bahirah. Mereka bertanya, "Siapakah dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. bersabda: Seorang lelaki dari kalangan Bani Mudlaj, dia mempunyai dua ekor unta, lalu ia membelah telinga kedua untanya dan mengharamkan air susunya, kemudian ia meminum air susunya sesudah itu. Dan sesungguhnya aku melihat dia di dalam neraka, sedangkan kedua untanya itu menggigiti dia dengan mulutnya dan menginjak-injak dia dengan teracaknya.
Amr yang disebutkan dalam hadis ini ialah Ibnu Luhay ibnu Qum'ah, salah seorang pemimpin Khuza'ah yang mengurus Baitullah sesudah dosa yang mereka perbuat itu. Dia adalah orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim Al-Khalil, lalu ia memasukkan berhala-berhala ke tanah Hijaz dan menyerukan kepada para penggembala ternak untuk menyembah berhala-berhala itu serta mendekatkan diri kepadanya. Dia pulalah yang mensyariatkan peraturan-peraturan Jahiliah dalam masalah ternak dan lain-lainnya, seperti apa yang disebutkan oleh Allah di dalam surat Al-An'am melalui firman-Nya:
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah (Al An'am:136), hingga beberapa ayat berikutnya.
Adapun mengenai al-bahirah, Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa bahirah ialah unta betina yang telah berhasil melahirkan lima ekor anaknya, lalu mereka melihat anak yang kelima itu, jika jantan, maka mereka menyembelihnya dan memakannya, tetapi hanya kaum laki-laki yang boleh memakannya, sedangkan kaum wanita tidak boleh. Dan apabila anak yang kelima itu betina, maka mereka membelah telinganya, lalu mereka katakan, "Ini adalah hewan bahirah"
As-Saddi dan lain-lainnya telah menceritakan hal yang mendekati riwayat Ibnu Abbas.
Adapun saibah, menurut Mujahid ialah ternak kambing yang pengertiannya sama dengan hewan bahirah pada ternak unta tadi. Hanya saja yang dimaksud dengan saibah ialah seekor kambing betina yang berhasil melahirkan enam ekor anaknya yang semuanya betina.
Kemudian apabila anak yang ketujuhnya lahir dan ternyata jantan, baik tunggal ataupun kembar, maka mereka menyembelihnya, lalu dimakan oleh kaum laki-laki, sedangkan kaum wanita tidak boleh memakannya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa saibah ialah unta betina yang berhasil melahirkan sepuluh ekor anak yang semuanya betina, tanpa ada jenis jantannya. Maka ia dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh dinaiki, bulunya tidak boleh dipotong, dan air susunya tidak boleh diperah kecuali untuk menjamu tamu.
Abu Rauq mengatakan, saibah terjadi apabila seorang lelaki mengadakan suatu perjalanan dan keperluannya dikabulkan, maka ia menjadikan dari harta benda miliknya yang berupa ternak unta seekor unta betina atau ternak lainnya sebagai hewan saibah. Hewan itu dijadikannya untuk berhala, dan anak yang lahir darinya dipersembahkan untuk berhala pula.
As-Saddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan mereka (orang-orang Jahiliah) apabila keperluannya terkabul atau disembuhkan dari sakitnya atau hartanya bertambah banyak, maka ia menjadikan seekor ternak miliknya sebagai hewan saibah untuk berhala sesembahannya. Dan barang siapa yang berani mengganggunya akan dikenakan hukuman dunia.
Adapun wasilah, menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, ialah seekor kambing betina yang telah melahirkan tujuh ekor anak kambing. Mereka melihat kepada anak kambing yang ketujuh, jika anaknya itu jenis jantan dan dalam keadaan mati, boleh diberikan kepada kaum laki-laki dan wanita. Tetapi jika anaknya yang ketujuh itu adalah betina, maka mereka membiarkannya hidup. Jika anaknya kembar, terdiri atas jenis jantan dan betina, maka mereka membiarkan keduanya hidup, dan mereka mengatakan bahwa yang jantan diselamatkan oleh yang betina, karena itu diharamkan bagi mereka. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak pula mensyariatkan) wasilah. (Al Maidah:103) Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa al-wasilah ialah unta betina yang anak pertamanya jenis betina, kemudian anak keduanya betina lagi, maka anak yang kedua ini dinamakan wasilah. Menurut mereka, anak kedua ini berhubungan langsung dengan anak pertama yang kedua-duanya betina, tanpa diselingi jenis jantan. Maka mereka membelah telinga anak yang kedua ini untuk berhala mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Imam Malik ibnu Anas rahimahullah.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, kambing wasilah ialah apabila seekor kambing betina melahirkan sepuluh anak yang semuanya jenis betina dalam lima kali kelahiran karena setiap kelahiran kembar, pada tiap-tiap kelahiran dijadikan wasilah dan dibiarkan hidup bebas. Bila ia telah besar dan beranak, baik anaknya jenis jantan ataupun betina, maka diberikan kepada kaum lelaki saja, sedangkan kaum wanita tidak boleh.
Tetapi jika anak yang dilahirkannya mati, maka kaum wanita dan kaum lelaki boleh memperolehnya.
Mengenai hewan ham, menurut Al-Aufi —dari Ibnu Abbas— apabila seorang lelaki mengawinkan hewan pejantannya sebanyak sepuluh kali, maka pejantan itu dinamakan ham, dan mereka membiarkannya hidup bebas tanpa diganggu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Rauq dan Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ham ialah unta pejantan. Apabila anak dari unta pejantan itu mempunyai anak lagi, mereka mengatakan bahwa cucunya itu telah memelihara punggungnya, dan mereka tidak berani membebaninya dengan muatan apa pun pada punggungnya, tidak berani memotong bulunya, dan tidak melarangnya mendatangi tempat penggembalaan yang terlarang dan tempat minumnya, sekalipun tempat minumnya itu bukan milik tuannya.
Ibnu Wahb mengatakan, ia pernah mendengar Malik mengatakan bahwa ham ialah unta pejantan yang telah berhasil menghamili unta-unta betina dalam bilangan tertentu. Apabila telah berhasil menghamili sejumlah unta betina yang telah ditargetkan hitungannya, maka mereka menandainya dengan bulu merak, lalu mereka membiarkannya hidup bebas.
Menurut pendapat lain sehubungan dengan tafsir ayat ini disebutkan hal yang berbeda.
Sehubungan dengan hal ini telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Abu Ishaq As-Subai'i, dari Abul Ahwas Al-Jusyami, dari ayahnya —Malik ibnu Nadlah—yang menceritakan:
bahwa ia pernah datang kepada Nabi Saw. dengan memakai dua lapis pakaian yang telah lama. Lalu Nabi Saw. bertanya kepadanya, "Apakah kamu mempunyai harta?" Ia menjawab, "Ya." Nabi Saw. bertanya lagi, "Berupa apakah hartamu itu?" Ia menjawab, "Berupa segala macam harta, ada ternak unta dan ternak kambing, kuda serta budak." Nabi Saw. bersabda, "Apabila Allah memberimu harta, lalu harta itu bertambah banyak di tanganmu." Kemudian Nabi Saw. bertanya, "Apakah keturunan dari ternak untamu itu bertelinga lengkap?" Ia menjawab, "Tentu saja, dan memang hanya itulah yang dilahirkan oleh ternak untaku." Nabi Saw. bersabda, "Barangkali kamu mengambil pisau, lalu kamu belah telinga sebagian darinya lalu kamu katakan ini bahirah, kemudian kamu belah lagi telinga sebagian yang lainnya, lalu kamu katakan ini haram." Ia menjawab, "Ya." Nabi SAW bersabda: Jangan kamu lakukan itu, sesungguhnya semua yang diberikan oleh Allah kepadamu adalah halal. Kemudian Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah, dan ham. (Al Maidah:103). Adapun al-bahirah ialah unta betina yang mereka belah telinganya, kemudian istri mereka, anak-anak perempuan mereka, dan keluarga mereka tidak boleh mencukur bulunya dan tidak boleh memerah susunya. Tetapi apabila hewan bahirah ini mati, mereka boleh memanfaatkannya bersama-sama. Saibah ialah hewan yang mereka biarkan hidup bebas demi berhala-berhala mereka. Mereka berangkat menuju tempat berhala-berhala mereka dengan membawa ternak saibah, lalu mereka membiarkannya hidup bebas. Wasilah ialah kambing betina yang telah berhasil melahirkan enam ekor anak kambing, dan apabila ia melahirkan lagi anak kambing yang ketujuh, mereka membelah telinganya dan memotong tanduknya, lalu mereka katakan bahwa kambing ini telah berjasa. Maka mereka tidak menyembelihnya, tidak memukulnya, dan tidak berani mencegahnya pergi ke tempat minum mana pun.
Demikianlah penafsiran dari kata-kata tersebut disisipkan ke dalam hadis.
Dan telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas Auf ibnu Malik, bahwa keterangan tersebut termasuk kata-kata Auf ibnu Malik. Pendapat inilah yang mirip kepada kebenaran. Hadis mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abuz Za'ra Amr ibnu Amr, dari pamannya Abul Ahwas (yaitu Auf ibnu Malik ibnu Nadlah), dari ayahnya dengan lafaz yang sama, tetapi di dalam riwayat ini tidak disebutkan penjelasan (tafsir) dari kata-kata tersebut.
Firman Allah Swt.:
Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.
Yakni Allah Swt. sama sekali tidak pernah mensyariatkan hal ini, dan hal ini bukan merupakan amal taqarrub untuk mendekatkan diri kepadaNya, melainkan orang-orang musyrik sendirilah yang membuat-buat peraturan tersebut, lalu mereka menjadikannya sebagai syariat buat mereka dan sebagai amal taqarrub mereka untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Apa yang mereka buat-buat itu tidak membawa hasil yang bermanfaat bagi diri mereka. Yang mereka petik hanyalah bencana bagi mereka sendiri.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Tidak sekali-kali menjadikan) mensyariatkan (Allah akan adanya bahirah, saibah, wasilah dan ham) sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Said bin Musayyab yang telah mengatakan bahwa bahirah ialah unta betina yang air susunya dihadiahkan untuk berhala-berhala, maka tidak ada seorang pun yang berani memerah air susunya. Saibah ialah unta betina yang mereka lepaskan begitu saja dibiarkan demi untuk berhala-berhala mereka, maka unta tersebut tidak boleh dibebani sesuatu pun. Wasilah ialah unta betina yang sewaktu melahirkan anak unta pertama kalinya betina setelah ia beranak lagi secara kembar yang kedua-duanya betina; induk unta itu dibiarkan terlepas bebas jika anak-anaknya itu tidak ada yang jantan yang memisahkan antara kedua anaknya itu. Hal ini mereka lakukan demi berhala-berhala mereka. Dan ham ialah unta pejantan yang dipekerjakan dalam masa yang telah ditentukan dan jika masanya telah habis lalu mereka membiarkannya bebas demi untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala sesembahan mereka. Selain dari itu mereka membebaskannya dari segala muatan dan beban hingga ia tidak lagi disuruh membawa apa pun dan nama lain dari jenis unta itu ialah hami. (Akan tetapi orang-orang kafir selalu membuat kedustaan terhadap Allah) dalam hal tersebut kemudian mereka mengaitkannya kepada Allah (dan kebanyakan mereka tidak mengerti) bahwa perkara tersebut merupakan kedustaan karena mereka dalam hal ini hanyalah mengikuti apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Allah tidak mengizinkan kalian untuk mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan seperti, misalnya, memotong telinga unta dan tidak mau menggunakannya yang kemudian kalian beri nama bahîrah. Atau seperti membiarkan hewan itu berdasarkan suatu nazar yang kemudian kalian namakan sâ'ibah. Atau, bisa juga, seperti mengharamkan domba jantan dari betinanya dan mempersembahkan yang jantan itu kepada patung-patung, sampai akhirnya ketika domba betina melahirkan anak jantan dan betina yang kalian beri nama washîlah, di mana anak jantannya itu tidak kalian sembelih. Allah juga tidak pernah membolehkan kalian untuk tidak memanfaatkan unta jantan yang telah mengawini sepuluh unta betina yang kalian beri nama hâm! Allah sama sekali tidak membolehkan semua itu! Akan tetapi orang-orang kafir menciptakan kebohongan dan menisbatkannya kepada Allah. Kebanyakan mereka tidak berpikir (1). (1) Orang-orang jahiliah mempunyai kebiasaan mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan Allah. Di antaranya: a. Apabila seekor unta betina melahirkan lima ekor anak dan yang terakhir adalah jantan, kuping unta betina itu dipotong, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diusir dari ladang gembalaan. Unta betina itu kemudian dinamakan bahîrah, yaitu yang terpotong telinganya. b. Di antara mereka ada yang bernazar dengan mengatakan, "Jika saya tiba dari perjalanan dengan selamat atau tidak terjangkit penyakit, maka unta saya menjadi sâ'ibah." Sâ'ibah sama dengan bahîrah. c. Jika seekor domba betina beranak betina, anak betina itu diambil pemiliknya. Tetapi, apabila anak yang lahir itu jantan, ia akan dipersembahkan kepada tuhan mereka. Akan tetapi, apabila domba itu melahirkan jantan dan betina, anak yang jantan tidak disembelih dan dipersembahkan kepada tuhan mereka. Mereka malah menyembelih anak betina dengan anggapan bahwa anak betina itu cukup mewakili untuk "menyampaikan" persembahan itu kepada tuhan. Anak betina itu kemudian mereka namakan washîlah (asal kata washala: 'menyambungkan', 'menyampaikan'). d. Apabila unta jantan telah menghasilkan sepuluh anak betina, mereka mengatakan, "Punggung unta itu harus dilindungi dan tidak boleh ditunggangi atau dimanfaatkan untuk mengangkut sesuatu." Unta seperti itu dikenal dengan nama hâm (asal kata hamâ: 'melindungi').