وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ( المائدة: ٣٨ )
Wa As-Sāriqu Wa As-Sāriqatu Fāqţa`ū 'Aydiyahumā Jazā'an Bimā Kasabā Nakālāan Mina Allāhi Wa Allāhu `Azīzun Ĥakīmun. (al-Māʾidah 5:38)
Artinya:
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS. [5] Al-Ma'idah : 38)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Bila pada ayat yang lalu dijelaskan tentang hukuman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kekacauan, maka pada ayat ini diterangkan tentang hukuman bagi pencuri. Setiap kejahatan pasti ada hukumannya. Adapun setiap orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan buruk dan bertentangan dengan syariat yang mereka lakukan, dan hal itu juga sebagai siksaan dari Allah sesuai dengan peringatan-Nya. Sungguh dengan ketetapan dan peringatan ini, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Setiap kejahatan ada hukumannya. Pelakunya akan dikenakan hukuman. Begitu pula halnya seorang pencuri akan dikenakan hukuman karena ia melanggar larangan mencuri. Seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang mengambil harta orang lain dari tempatnya yang layak dengan diam-diam, dinamakan "pencuri."
Orang yang telah akil balig mencuri harta orang lain yang nilainya sekurang-kurangnya seperempat dinar, dengan kemauannya sendiri dan tidak dipaksa, dan mengetahui bahwa perbuatannya itu haram, dilarang oleh agama. Orang itu sudah memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan kanan, sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat ini.
Suatu pencurian dapat ditetapkan apabila ada bukti-bukti atau ada pengakuan dari pencuri itu sendiri, hukuman potong tangan tersebut dapat gugur apabila pencuri itu dimaafkan oleh orang yang dicuri hartanya dengan syarat sebelum perkaranya ditangani oleh yang berwenang. Pelaksanaan hukum potong tangan dilaksanakan oleh orang yang berwenang yang ditunjuk untuk itu, dengan syarat-syarat tertentu.
Penetapan nilai harta yang dicuri, yang dikenakan hukum potong tangan bagi pelakunya yaitu sekurang-kurangnya seperempat dinar sebagaimana tersebut di atas, adalah pendapat jumhur ulama, baik ulama salaf maupun khalaf206 berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
"Rasulullah saw memotong tangan pencuri itu yang mencuri seperempat dinar ke atas." (Riwayat al-Bukhari - Muslim dari Aisyah).
Seorang pencuri yang telah dipotong tangan kanannya, kemudian ia mencuri lagi dengan syarat-syarat seperti semula maka dipotonglah kaki kirinya yaitu dari ujung kaki sampai pergelangan. Kalau ia mencuri lagi untuk ketiga kalinya, dipotong lagi tangan kirinya, kalau ia mencuri lagi untuk keempat kalinya, dipotong lagi kaki kanannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw mengenai pencuri sebagai berikut:
Apabila ia mencuri, potonglah tangan (kanan)nya, kalau ia mencuri lagi potonglah kaki (kiri)nya, kalau masih mencuri lagi potonglah tangan (kiri)nya dan kalau ia masih juga mencuri potonglah kaki (kanan)nya." (Riwayat al-Imam al-Syafi'i dari Abu Hurairah).
Kalau ini semua sudah dilaksanakan tetapi ia masih juga mencuri untuk kelima kalinya, maka ia di-tazir, artinya diberi hukuman menurut yang ditetapkan oleh penguasa, misalnya dipenjarakan atau diasingkan ke tempat lain, sehingga ia tidak dapat lagi mencuri. Potong tangan ini diperintahkan Allah sebagai hukuman kepada pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, karena Allah Mahaperkasa, maka ia tidak akan membiarkan pencuri-pencuri dan manusia lainnya berbuat maksiat. Allah Mahabijaksana di dalam menetapkan sesuatu seperti menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, karena yang demikian itu apabila diperhatikan lebih dalam, tentu dalam pelaksanaannya akan menimbulkan maslahat yang banyak, sekurang-kurangnya dapat membatasi merajalelanya pencurian.
Apa saja yang diperintahkan Allah pasti akan mendatangkan maslahat dan apa saja yang dilarang-Nya pasti akan mengakibatkan kerusakan dan kehancuran apabila dilanggar.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. berfirman, memutuskan dan memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan pencuri perempuan dipotong.
As-Sauri meriwayatkan dari Jabir ibnu Yazid Al-Ju'fi, dari Amir ibnu Syarahil Asy-Sya'bi. bahwa sahabat Ibnu Mas'ud di masa lalu membaca ayat ini dengan bacaan berikut:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya.
Tetapi qiraah ini dinilai syazzah (asing), sekalipun hukumnya menurut semua ulama sesuai dengan makna bacaan tersebut: tetapi bukan karena atas dalil bacaan itu, karena sesungguhnya dalil (memotong tangan kanan) diambil dari yang lain.
Dahulu di masa Jahiliah hukum potong tangan ini berlaku, kemudian disetujui oleh Islam dan ditambahkan kepadanya syarat-syarat lain, seperti yang akan kami sebutkan. Perihalnya sama dengan qisamah, diat, qirad, dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya sesuai dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan kemaslahatan.
Menurut suatu pendapat, orang yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa Jahiliah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang lelaki yang dikenal dengan nama Duwaik maula Bani Malih ibnu Amr, dari Khuza'ah, karena mencuri harta perbendaharaan Ka'bah. Menurut pendapat lain, yang mencurinya adalah suatu kaum, kemudian mereka meletakkan hasil curiannya di rumah Duwaik.
Sebagian kalangan ulama fiqih dari mazhab Zahiri mengatakan, "Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong, tanpa memandang apakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak," karena berdasarkan kepada keumuman makna yang dikandung oleh firman-Nya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Al Maidah:38)
Mereka tidak mempertimbangkan adanya nisab dan tidak pula tempat penyimpanan barang yang dicuri, bahkan mereka hanya memandang dari delik pencuriannya saja.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Abdul Mu-min, dari Najdah Al-Hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
Apakah ayat ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, "Ayat ini mengandung makna umum."
Hal ini barangkali merupakan suatu kebetulan dari Ibnu Abbas yang bersesuaian dengan pendapat mereka (mazhab Zahiri), barangkali pula tidak demikian keadaannya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Mereka berpegang kepada sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Semoga Allah melaknat pencuri, yang mencuri telur, maka tangannya dipotong, dan mencuri tali, maka tangannya dipotong.
Jumhur ulama mempertimbangkan adanya nisab dalam kasus pencurian, sekalipun mengenai kadarnya masih Diperselisihkan di kalangan mereka.
Masing-masing dari mazhab yang empat mempunyai pendapatnya sendiri.
Menurut Imam Malik ibnu Anas, nisab hukum potong tangan adalah tiga keping uang perak (dirham) murni. Apabila seseorang mencuri sesuatu yang nilainya mencapai tiga dirham atau lebih, maka tangannya harus dipotong. Imam Malik mengatakan, pendapatnya ini berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nafi', dari Ibnu Umar r.a.:
Rasulullah Saw. melakukan hukum potong tangan dalam kasus pencurian sebuah tameng yang harganya tiga dirham.
Hadis diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab Sahihain.
Imam Malik mengatakan bahwa Khalifah Usman r.a. pernah menjatuhkan hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah utrujjah (jeruk bali) yang harganya ditaksir tiga dirham. Asar ini —menurut Imam Malik-— merupakan asar yang paling disukainya mengenai hal tersebut.
Asar ini bersumberkan dari Khalifah Usman r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari ayahnya, dari Amrah binti Abdur Rahman, bahwa di masa pemerintahan Khalifah Usman pernah ada seseorang mencuri buah utrujjah (jeruk bali). Maka Khalifah Usman memerintahkan agar barang yang dicuri itu ditaksir harganya. Ketika dilakukan penaksiran, ternyata harganya mencapai tiga dirham menurut harga lama, sedangkan menurut harga sekarang sama dengan dua belas dirham. Maka Khalifah Usman memotong tangan pelakunya.
Para pendukung Imam Malik mengatakan bahwa keputusan yang semisal telah terkenal dan tiada yang memprotesnya, permasalahannya sama dengan ijma' sukuti.
Di dalam asar ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukum potong tangan terhadap kasus pencurian buah, hal ini berbeda dengan pendapat kalangan mazhab Hanafi. Dan berdasarkan pertimbangan tiga dirham, berbeda pula dengan mereka (mazhab Hanafi), karena mereka menetapkan bahwa nisab-nya harus mencapai sepuluh dirham. Sedangkan menurut pertimbangan mazhab Syafii, jumlah yang harus dicapai adalah seperempat dinar.
Imam Syafii mengatakan bahwa hal yang dijadikan standar dalam menjatuhkan sanksi hukum potong tangan atas pencuri adalah seperempat dinar, atau uang atau barang yang seharga seperempat dinar hingga lebih.
Dalil yang dijadikan pegangan dalam hal ini ialah sebuah hadis yang diketengahkan oleh Syaikhan, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, melalui Az-Zuhri, dari Amrah, dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar (atau sesuatu yang senilai dengannya atau yang berupa barang yang senilai dengannya) hingga selebihnya.
Menurut riwayat Imam Muslim melalui jalur Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari Amrah, dari Aisyah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tangan pencuri tidaklah dipotong kecuali karena mencuri seperempat dinar hingga lebih.
Teman-teman kami mengatakan bahwa hadis ini merupakan penyelesaian dalam masalah yang bersangkutan, dan merupakan nas yang menyatakan seperempat dinar sebagai nisab-nya, bukan selainnya.
Mereka mengatakan, hadis yang menyebutkan perihal harga sebuah tameng —yang menurut taksiran seharga tiga dirham— pada kenyataannya tidak bertentangan dengan hadis ini, mengingat saat kejadiannya nilai satu dinar sama dengan dua belas dirham. Jika dikatakan tiga dirham, berarti sama dengan seperempat dinar. Dengan demikian, berarti keduanya dapat digabungkan melalui analisis ini.
Pendapat ini telah diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab, Usman ibnu Affan dan Ali ibnu Abi Thalib. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Lais ibnu Sa'd, Al-Auza'i, Imam Syafii dan semua muridnya, Ishaq ibnu Rahawaih menurut suatu riwayat darinya, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Imam Ahmad ibnu Hambal berpendapat, begitu pula Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayat yang bersumberkan darinya, bahwa masing-masing dari kedua pendapat yang mengatakan seperempat dinar dan tiga dirham mempunyai dalil syar'i-nya.. Maka barang siapa yang mencuri seharga salah satu dari keduanya atau yang senilai dengannya, dikenai hukum potong tangan, karena berdasarkan hadis Ibnu Umar dan hadis Aisyah r.a. Menurut suatu lafaz dari Imam Ahmad yang bersumberkan dari Siti Aisyah, Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Lakukanlah hukum potong tangan karena seperempat dinar, dan jangan kalian lakukan hukum potong tangan karena (mencuri) sesuatu yang lebih rendah dari itu.
Dahulu nilai seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar sama dengan dua belas dirham.
Menurut lafaz Imam Nasai disebutkan seperti berikut:
Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri sesuatu yang harganya lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Ketika ditanyakan kepada Siti Aisyah r.a. tentang harga sebuah tameng di masa lalu, ia menjawab, "Seperempat dinar."
Semua dalil yang disebutkan di atas merupakan nas-nas yang menunjukkan tidak adanya syarat sepuluh dirham (bagi hukuman potong tangan untuk pencuri).
Adapun Imam Abu Hanifah dan semua muridnya —yaitu Abu Yusuf, Muhammad serta Zufar— , demikian pula Sufyan As-Sauri, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa nisab kasus pencurian adalah sepuluh dirham mata uang asli, bukan mata uang palsu. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan bahwa harga sebuah tameng ketika tangan seorang pencuri dipotong karena mencurinya di masa Rasulullah Saw. adalah sepuluh dirham.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Ayyub ibnu Musa, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa harga sebuah tameng di masa Rasulullah Saw. adalah sepuluh dirham.
Kemudian Ia mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tangan pencuri tidak boleh dipotong karena mencuri senilai lebih rendah daripada harga sebuah tameng. Dahulu harga sebuah tameng (perisai) adalah sepuluh dirham.
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas dan Abdullah ibnu Amr berbeda pendapat dengan Ibnu Umar tentang masalah harga perisai. Maka untuk tindakan preventifnya ialah mengambil pendapat mayoritas, karena masalah-masalah yang menyangkut hukuman had harus ditolak dengan hal-hal yang syubhat.
Sebagian ulama Salaf ada yang berpendapat bahwa tangan seorang pencuri dipotong karena mencuri sepuluh dirham atau satu dinar atau sesuatu yang harganya senilai dengan salah satu dari keduanya. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, dan Abu Ja'far Al-Baqir.
Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kecuali karena mencuri lima dinar atau lima puluh dirham. Pendapat ini dinukil dari Sa'id ibnu Jubair.
Sedangkan jumhur ulama membantah pegangan dalil mazhab Zahiri yang bersandarkan kepada hadis Abu Hurairah r.a. yang mengatakan:
Dia mencuri sebuah telur, maka tangannya dipotong, dan dia mencuri seutas tali maka tangannya dipotong.
melalui jawaban-jawaban berikut, yaitu:
Pertama hadis tersebut telah di-mansukh oleh hadis Siti Aisyah. Tetapi sanggahan ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat tarikh penanggalannya harus dijelaskan.
Kedua, makna lafaz al-baidah dapat diinterpretasikan dengan pengertian 'topi besi", sedangkan tali yang dimaksud ialah tali perahu. Demikianlah menurut alasan yang dikemukakan oleh Al-A'masy melalui riwayat Imam Bukhari dan lain-lainnya, dari Al-A'masy.
Ketiga, bahwa hal ini merupakan sarana yang menunjukkan pengertian bertahap dalam menangani kasus pencurian, yaitu dimulai dari sedikit sampai jumlah yang banyak, yang mengakibatkan pelakunya dikenai hukum potong tangan karena mencuri dalam jumlah sebanyak itu.
Dapat diinterpretasikan pula bahwa apa yang disebutkan di dalam hadis merupakan suatu berita tentang keadaan yang pernah terjadi di masa Jahiliah. Mengingat mereka menjatuhkan hukum potong tangan dalam kasus pencurian, baik sedikit maupun banyak, maka si pencuri melaknatnya karena dia menyerahkan tangannya yang mahal hanya karena sesuatu yang tidak berarti.
Kemudian orang-orang menjawab ucapan tersebut. Jawaban yang dikemukakan oleh Al-Qadi Abdul Wahhab Al-Maliki yaitu "manakala tangan dapat dipercaya, maka harganya mahal, dan manakala tangan berkhianat, maka harganya menjadi murah".
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa di dalam hukum tersebut (potong tangan) terkandung hikmah yang sempurna, maslahat, dan rahasia syariat yang besar. Karena sesungguhnya di dalam Bab 'Tindak Pidana (Pelukaan)" sangatlah sesuai bila harga sebuah tangan dibesarkan hingga lima ratus dinar, dengan maksud agar terjaga keselamatannya, tidak ada yang berani melukainya. Sedangkan dalam Bab "Pencurian" sangatlah sesuai bila nisab yang diwajibkan hukum potong tangan adalah seperempat dinar, dengan maksud agar orang-orang tidak berani melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merupakan suatu hikmah yang sesungguhnya menurut pandangan orang-orang yang berakal. Karena itulah Allah Swt berfirman:
...(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Yakni sebagai pembalasan atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh kedua tangannya yang berani mengambil harta orang lain secara tidak sah. Maka sangatlah sesuai bila kedua tangan yang dipakai sebagai sarana untuk tindak pidana pencurian itu dipotong.
...sebagai siksaan dari Allah.
Yaitu sebagai balasan dari Allah terhadap keduanya karena berani melakukan tindak pencurian.
...Dan Allah Mahaperkasa.
Yakni dalam pembalasan-Nya.
...lagi Mahabijaksana.
Yaitu dalam perintah dan larangan-Nya, serta dalam syariat dan takdirNya.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri) al yang terdapat pada keduanya menunjukkannya sebagai isim maushul dan berfungsi sebagai mubtada, mengingat al mirip dengan syarat maka khabarnya diawali dengan fa, yaitu (maka potonglah tangan mereka) tangan kanan masing-masing mulai dari pergelangan. Dinyatakan oleh sunah bahwa hukum potong itu dilaksanakan jika yang dicuri itu bernilai seperempat dinar atau lebih; jika perbuatannya itu diulanginya lagi maka yang dipotong kakinya yang kiri dari pergelangan kaki, kemudian tangan kiri lalu kaki kanan dan setelah itu dilakukan hukum takzir (sebagai balasan) manshub sebagai mashdar (atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan) artinya hukuman bagi mereka (dari Allah dan Allah Maha Perkasa) artinya menguasai segala urusan (lagi Maha Bijaksana) terhadap makhluk-Nya.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan mereka sebagai balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukannya. Itulah ketentuan hukum mereka dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana dalam menentukan hukum-Nya dan menetapkan sanksi dan hukuman bagi setiap kejahatan, yang dapat mencegah merebaknya kejahatan itu.