Al-Kahf Ayat 36
وَّمَآ اَظُنُّ السَّاعَةَ قَاۤىِٕمَةً وَّلَىِٕنْ رُّدِدْتُّ اِلٰى رَبِّيْ لَاَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنْقَلَبًا ( الكهف: ٣٦ )
Wa Mā 'Ažunnu As-Sā`ata Qā'imatan Wa La'in Rudidtu 'Ilaá Rabbī La'ajidanna Khayrāan Minhā Munqalabāan. (al-Kahf 18:36)
Artinya:
dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada ini.” (QS. [18] Al-Kahf : 36)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
dan aku tidak mengira bahwa hari Kiamat itu akan datang dan tidak percaya kepada kebangkitan, dan sekiranya hari kiamat dan kebangkitan itu benar-benar datang seperti yang engkau katakan, lalu aku dikembalikan kepada Tuhanku pada hari kebangkitan, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada ini, yakni lebih baik daripada keadaanku di dunia pada saat ini.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini mengungkapkan ucapan pemilik kebun itu kepada saudaranya yang mukmin tentang ketidakpercayaannya bahwa hari kiamat itu akan datang. Sekiranya hari kiamat itu datang dan dia dikembalikan kepada Tuhan, dia tentu akan kembali mendapatkan yang lebih baik daripada kebun-kebun yang dimilikinya di dunia ini.
Sikap pemilik kebun itu menunjukkan keingkaran akan adanya hari kiamat (hari akhir). Dugaannya bahwa akan mendapatkan kebun-kebun yang lebih baik daripada kebun-kebunnya di dunia ini pada hari kiamat didasarkan atas pengalamannya bahwa kedua kebun yang dimilikinya dan dipercayakan Tuhan kepadanya terus berbuah dan berkembang hanya karena kesanggupan dan usaha yang memilikinya. Oleh karena itu, dimana dan kapan saja, kemusnahan itu selalu menyertainya. Allah swt menggambarkan pula sifat orang kafir ini dalam ayat yang lain dengan firman-Nya:
"¦Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya....." (Fushshilat/41: 50)
Ucapan yang membawa kepada kekafiran ialah: pertama, pengakuannya tentang keabadian alam; kedua, tentang tidak adanya kebangkitan manusia dari kubur; dan ketiga, anggapannya bahwa ganjaran di akhirat dicerminkan oleh keadaan di dunia. Pandangan terhadap keabadian alam ini meniadakan keputusan dan kehendak Tuhan Pencipta Alam. Keingkarannya terhadap kebangkitan manusia dari kubur menunjukkan bahwa dia meniadakan kekuasaan Allah untuk mengembalikan manusia ke bentuk aslinya. Pandang-an bahwa ganjaran di akhirat dicerminkan oleh kehidupan dunia, misalnya bilamana seseorang di dunia hidup sebagai pemilik kebun, maka ganjaran di akhirat pun baginya sebagai pemilik kebun. Ini adalah kepercayaan primitif, atau kepercayaan yang berdasarkan kebudayaan. Kepercayaan seperti itu berlawanan dengan agama yang bersumber pada wahyu Allah swt yang mempunyai kebijaksanaan dalam memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
...dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang.
Maksudnya, hari kiamat itu tidak akan terjadi menurut keyakinannya.
...dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu.
Yakni seandainya hari kembali itu ada dan semuanya dikembalikan kepada Allah, tentulah aku di sana mendapat bagian yang lebih baik daripada yang ada sekarang di sisi Tuhanku. Seandainya tidak ada kemuliaan bagiku di sisi-Nya, tentulah Dia tidak akan memberiku semuanya ini. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya. (Al Fushilat:50)
Dan firman Allah Swt. yang menyatakan:
Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, "Pasti aku akan diberi harta dan anak.” (Maryam:77)
Yakni di akhirat ia berangan-angan mendapatkan hal itu dari Allah Swt. Penyebab turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan Al-As ibnu Wa-il, seperti yang akan dijelaskan nanti di tempatnya, insya Allah.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku) di akhirat kelak sebagaimana dugaanmu itu (pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu)" tempat tinggal yang lebih baik.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Aku juga tidak pernah menyangka bahwa hari kiamat itu benar-benar akan terjadi. Kalau saja hal itu benar dan aku akan dikembalikan kepada Tuhan sesudah hari kebangkitan nanti, sebagaimana kamu katakan, pasti aku akan mendapatkan yang lebih baik dari kesenangan saat ini. Karena bagaimanapun aku adalah orang yang berhak mendapatkan kesenangan hidup." Orang kafir itu menganalogikan hari akhirat yang gaib dengan kehidupan duniawi. Dia sama sekali tidak mengerti bahwa kehidupan akhirat merupakan hari pemberian pahala bagi yang beriman dan berbuat kebajikan.
6 Tafsir as-Saadi
"Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri; dia berkata, 'Aku kira
kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang,
dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang
lebih baik daripada kebun-kebun itu'." (Al-Kahfi : 35-36).
(34) ﴾ وَكَانَ لَهُۥ ﴿ "Dan dia mempunyai," laki-laki itu mempunyai ﴾
ثَمَرٞ ﴿ "kekayaan besar," (kekayaan) yang sangat besar, sebagaimana makna yang dikandung oleh bentuk nakirah (indefinite noun). Mak-sudnya: Kedua kebun tersebut benar-benar sempurna buahnya, sangat kuat pohon-pohonnya dan belum pernah terserang penyakit atau hal yang mencacatinya. Ini merupakan titik klimaks perhias-an dunia dalam masalah tanaman. Oleh karena itu, laki-laki ini tertipu, berbangga diri dan bermegah-megah, tapi melupakan akhi-ratnya.
Maka berkatalah pemilik kedua kebun itu kepada temannya yang Mukmin saat mereka berdua berbincang-bincang. Yakni, se-dang berdiskusi tentang sebagian kejadian hidup yang biasa ber-laku dengan nada membanggakan diri di hadapan temannya (yang beriman), ﴾ أَنَا۠ أَكۡثَرُ مِنكَ مَالٗا وَأَعَزُّ
نَفَرٗا 34 ﴿ "Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat." Dia
bangga karena harta-nya banyak dan penolong-penolongnya yang kuat dari kalangan budak, pembantu,
dan kerabat-kerabatnya.
Ini merupakan sudut kejahilan darinya. Kalau bukan demikian, kebanggaan apa pun dengan hal-hal
yang berada di luar fisiknya, yang tidak memiliki keutamaan psikologis dan sifat maknawi, maka
kebanggaannya itu ibarat kebanggaan seorang anak dengan angan-angan (kosong) yang tidak ada kepastian hakikatnya!
(35-36) Lalu rasa bangga di hadapan temannya itu tidak cukup sampai di
situ, sampai akhirnya dia menetapkan dengan kejahilan dan kebodohannya dan menyangka tatkala
masuk ke dalam kebunnya ﴾ قَالَ مَآ أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِۦٓ ﴿ "Ia berkata, 'Aku kira kebun ini tidak akan binasa '," yaitu terputus dan sirna ﴾
أَبَدٗا 35 ﴿ "selama-lama-nya." Dia merasa tenang dan ridha dengan dunia serta mengingkari Hari Kebangkitan.
Dia berkata, ﴾ وَمَآ أَظُنُّ ٱلسَّاعَةَ قَآئِمَةٗ وَلَئِن رُّدِدتُّ إِلَىٰ رَبِّي ﴿ "Dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembali-kan kepada Rabbku," sebagai prediksinya ﴾
لَأَجِدَنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهَا مُنقَلَبٗا 36 ﴿ "pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu," maksudnya Dia akan memberikan kepadaku yang lebih baik daripada kedua kebun ini! Perkataan ini tidak lepas dari dua per-kara, boleh jadi dia mengetahui kepastian keadaan, jadi perkataan-nya ini ditujukan untuk mengejek dan mengolok-olok, sehingga menjadi bentuk tambahan kekufuran kepada kekufuran (sebelum-nya), atau, perkataannya itu adalah benar-benar prasangka murni terhadap sebuah kepastian.
Maka, jadilah dia orang yang paling bodoh, lagi pincang akal-nya. Apakah terdapat korelasi antara kenikmatan dunia dengan kenikmatan akhirat, hingga dia menyangka dengan kebodohan-nya, barangsiapa diberi kenikmatan di dunia, pasti akan diberi kenikmatan pula di akhirat?! Bahkan pada umumnya, Allah تعالى menjauhkan dunia dari wali-wali dan orang-orang pilihanNya, lalu memudahkannya bagi musuh-musuhNya yang tidak memiliki apa-apa di akhirat.
Secara tekstual, dia mengetahui kepastian keadaan. Akan te-tapi, dia mengatakan perkataan ini dalam rangka melontarkan ejekan dan olokan dengan dalil Fiman Allah, ﴾
وَدَخَلَ جَنَّتَهُۥ وَهُوَ ظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ ﴿ "Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim
terhadap dirinya sendiri." Penetapan bahwa dia bersifat zhalim ketika memasukinya, yang kemudian
muncul ucapannya yang telah terjadi itu, menunjukkan kesombongan dan kecongkakannya.