Al-Kahf Ayat 6
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا ( الكهف: ٦ )
Fala`allaka Bākhi`un Nafsaka `Alaá 'Āthārihim 'In Lam Yu'uminū Bihadhā Al-Ĥadīthi 'Asafāan. (al-Kahf 18:6)
Artinya:
Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an). (QS. [18] Al-Kahf : 6)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Maka akibat ucapan dan perbuatan kaum musyrikin itu, barangkali engkau wahai Nabi Muhammad akan membunuh dirimu sendiri karena bersedih hati dan sangat kecewa setelah mereka berpaling dari dirimu dan menolak tuntunan yang engkau sampaikan, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini, yakni Al-Qur'an. Wahai Nabi Muhammad, janganlah bersedih hati karena perkataan dan perbuatan mereka. Engkau hanya diutus menyampaikan wahyu kepada mereka, dan tidak dibebankan kepadamu menjadikan mereka beriman.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Menurut riwayat Ibnu 'Abbas bahwa 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, an-Nadhar bin Harits, Umayyah bin Khalaf, al-Asya bin Wa'il, al-Aswad bin Muththalib, dan Abu Buhturi di hadapan beberapa orang Quraisy mengadakan pertemuan. Rasul saw merasa susah melihat perlawanan kaumnya kepadanya dan pengingkaran mereka terhadap ajaran-ajaran yang dibawanya, sehingga sangat menyakitkan hatinya. Lalu turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini, Allah swt mengingatkan Rasul saw agar tidak bersedih hati, hingga merusak kesehatan dirinya, hanya karena kaumnya tidak mau beriman kepada Al-Qur'an dan kenabiannya. Hal demikian itu tidak patut membuat Nabi sedih karena tugas beliau hanyalah menyampaikan wahyu Ilahi kepada mereka, sedangkan kesediaan jiwa mereka untuk menerima kebenaran ayat-ayat tersebut tergantung kepada petunjuk Allah swt.
Firman Allah swt:
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 272)
Sesungguhnya Nabi Muhammad bersedih hati karena hasratnya yang besar dan kecintaannya yang dalam terhadap kaumnya supaya mereka beriman, tidak tercapai. Beliau diberi gelar habibullah artinya kekasih Allah, maka sifat kasih sayang beliau yang sangat menonjol kepada sesama manusia itu adalah pencerminan dari cintanya kepada Allah. Semakin kuat cinta kepada Allah, semakin besar pula kasihnya kepada manusia, bahkan manusia itu dirasakan sebagai dirinya. Oleh karena itu, ketika kaumnya menjauhkan diri dari bimbingan Allah swt dan rasul-Nya, beliau merasakan kejadian itu sebagai pukulan berat bagi dirinya. Bukankah kaum yang jauh dari hidayah Allah pada akhirnya akan hancur, dan beliau sendiri akan menyaksikan kehancuran mereka itu. Hati yang sangat iba terhadap mereka menjadi penghalang kebenaran, apapun pendorongnya, dan dapat mengham-bat jalan kebenaran itu sendiri. Maka Allah swt mengingatkan Rasul saw agar tidak mengindahkan tanggapan kaum musyrikin yang menjadi peng-halang tersebarnya agama Islam, tetapi terus menyampaikan dakwahnya dengan bijaksana. Sebab mereka itu adalah manusia yang telah dikaruniai akal pikiran. Dengan akal pikiran itu, manusia dapat merenungkan kebenar-an ayat-ayat Al-Qur'an dan ayat-ayat kauniyah (alam) seperti benda-benda yang terdapat dalam alam ini.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. menghibur hati Rasul-Nya dalam kesedihannya menghadapi sikap kaum musyrik, karena mereka tidak mau beriman dan menjauhinya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:
maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. (Faathir':8)
dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka. (An Nahl:127)
Dan firman Allah Swt. yang mengatakan:
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. (Asy Syu'ara:3)
Bakhi'un, membinasakan diri sendiri, karena sedih melihat mereka tidak mau beriman.
Dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an). (Al Kahfi:6)
Yang dimaksud dengan keterangan adalah Al-Qur'an. Asafan artinya kecewa, yakni janganlah kamu membinasakan (merusak) dirimu sendiri karena kecewa.
Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan asafab ialah membunuh diri sendiri karena marah dan bersedih hati terhadap mereka yang tidak mau beriman.
Mujahid mengatakan, maknanya ialah kecewa.
Pada garis besarnya semua makna yang telah disebutkan di atas mirip pengertiannya, yang kesimpulannya dapat dikatakan sebagai berikut: "Janganlah kamu buat dirimu kecewa terhadap mereka yang tidak mau beriman kepadamu, melainkan sampaikanlah risalah Allah. Barang siapa yang mau menerimanya sebagai petunjuk, maka manfaatnya buat dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat dari mereka, maka sesungguhnya dia menyesatkan dirinya sendiri. Janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka."
Kemudian Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia telah menjadikan dunia ini kampung yang fana yang dihiasi dengan perluasan yang fana pula pada akhirnya. Dan sesungguhnya dunia berikut kegerlapannya ini hanya dijadikan oleh Allah sebagai kampung ujian, bukan kampung menetap.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Maka barangkali kamu akan membinasakan) membunuh (dirimu sendiri sesudah mereka) sesudah mereka berpaling darimu (sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini) yakni kepada Alquran (karena bersedih hati) karena perasaan jengkel dan sedihmu, disebabkan kamu sangat menginginkan mereka beriman. Lafal Asafan dinashabkan karena menjadi Maf'ul Lah.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Wahai Muhammad, janganlah kamu membinasakan dirimu dengan rasa sedih dan duka oleh sebab keberpalingan mereka dari misi dakwahmu dengan keengganan untuk mempercayai kebenaran al-Qur'ân.
6 Tafsir as-Saadi
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada ham-baNya al-Kitab (al-Qur`an),
dan dia tidak mengadakan kebengkok-an di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus untuk
memperingat-kan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan membawa berita gembira kepada
orang-orang yang beriman, yang mengerja-kan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan
yang baik. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada
orang-orang yang berkata, 'Allah meng-ambil seorang anak.' Mereka sekali-kali tidak mempunyai
penge-tahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang
keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali
dusta. Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena
bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini
(al-Qur`an)." (Al-Kahfi: 1-6).
Jilid 5 dari kitab Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, karya Syaikh Abdurrahman
bin Nashir as-Sa'di.
Makkiyah
"Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang"
(1) ﴾ ٱلۡحَمۡدُ ﴿, adalah pujian kepada Allah, dengan sifat-sifat-Nya
yang keseluruhannya merupakan sifat-sifat sempurna, nikmat-nikmatNya yang zahir maupun yang
batin, nikmat agama dan du-nia. Secara mutlak, nikmat Allah yang paling agung adalah Allah
menurunkan al-Qur`an kepada hamba dan RasulNya, Muhammad. Maka, Allah memuji DzatNya. Dalam
pujian tersebut, terkandung panduan bagi para hamba agar mereka memujiNya atas pengirim-an
seorang rasul dan diturunkannya al-Qur`an kepada mereka.
Kemudian Allah memberikan predikat pada al-Qur`an dengan dua sifat yang mengandung pengertian
bahwasanya al-Qur`an itu sempurna dari segala sisi, yaitu penafian kebengkokan dari al-Qur-`an,
dan penetapan bahwasanya al-Qur`an adalah permanen lagi lurus.
Penafian unsur kebengkokan dari al-Qur`an menunjukkan bahwa tidak ada kedustaan dalam
berita-beritanya, tidak ada ke-zhaliman dan hal-hal yang sia-sia dalam semua perintah dan
lara-ngannya. Sedangkan penetapan sifat istiqamah (lurus) menuntut bahwa
al-Qur`an tidak memerintahkan dan tidak pula memberita-kan melainkan dengan berita yang paling
agung, yaitu berita-berita yang akan membuat hati penuh dengan pengetahuan, keimanan, dan
pemahaman. Seperti berita-berita tentang nama-nama Allah, sifat-sifat dan
perbuatan-perbuatanNya. Termasuk juga perkara-perkara ghaib yang sudah lewat maupun yang akan
datang. (Mengan-dung makna pula) bahwa perintah-perintah dan
larangan-larangan-nya dapat menyucikan, membersihkan, dan menumbuhkan serta menjadikan jiwa
sempurna, lantaran memuat unsur keadilan yang sempurna, keseimbangan, keikhlasan, dan
peribadahan kepada Allah, Penguasa alam semesta, sendirian, tiada sekutu bagiNya. Maka, patutlah
pada kitab (al-Qur`an) yang berkarakter demikian, bahwa Allah memuji
diriNya lantaran Dia yang menurunkan al-Qur`an dan mengagungkan DzatNya di hadapan para hambaNya
dengan itu.
(2) FirmanNya, ﴾ لِّيُنذِرَ بَأۡسٗا شَدِيدٗا مِّن لَّدُنۡهُ ﴿ "Untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah," maksudnya, untuk memperingatkan (para hamba) dengan al-Qur`an ini terhadap hukuman yang ada di sisiNya. Maksudnya, ketetapan dan keputus-an Allah bagi orang yang menyelisihi perintahNya. Hukuman ini meliputi hukuman di dunia dan akhirat. Peringatan ini juga merupa-kan salah satu kenikmatanNya, yaitu Allah menakut-nakuti hamba-hambaNya dan memperingatkan mereka dari hal-hal yang mencela-kakan dan membinasakan mereka. Sebagaimana Firman Allah tat-kala Dia menyebutkan sifat neraka dalam al-Qur`an,
﴾ ذَٰلِكَ يُخَوِّفُ ٱللَّهُ بِهِۦ عِبَادَهُۥۚ يَٰعِبَادِ فَٱتَّقُونِ 16 ﴿
"Demikianlah Allah menakut-nakuti hamba-hambaNya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepadaKu hai hamba-hambaKu." (Az- Zumar: 16).
Termasuk (cermin) kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya, adalah Allah menetapkan hukuman-hukuman yang keras bagi orang yang menyelisihi perintahNya, menjelaskannya kepada me-reka dan menerangkan faktor-faktor yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam hukuman.
﴾ وَيُبَشِّرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرًا حَسَنٗا 2 ﴿ "Dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapatkan pembalasan yang baik," maksud-nya, dan Allah menurunkan kepada hambaNya, (Muhammad) al-Qur`an supaya dia menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman kepada Allah, para RasulNya dan kitab-kitab-Nya, yang keimanan mereka telah sempurna. Maka keimanan ter-sebut telah mewajibkan amal-amal shalih bagi mereka. Yaitu, ama-lan-amalan wajib dan mustahab yang memadukan antara keikhlas-an dan mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasulullah).
﴾ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرًا حَسَنٗا 2 ﴿ "Bahwa mereka akan mendapatkan pembalasan yang baik," yaitu pahala yang Allah
tetapkan karena keimanan dan amal kebajikan (mereka). Pahala yang paling
agung dan paling mulia adalah kemenangan meraih keridhaan Allah dan masuk surga yang di dalamnya
(penuh kenikmatan) yang belum pernah dilihat indra mata, belum pernah
didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas di hati manusia. Penyebutan sifat 'yang baik'
menan-dakan tidak ada unsur yang mengotorinya, tidak pula mengurangi kesempurnaannya sama
sekali. Sebab, seandainya dijumpai hal-hal itu, sedikit saja padanya, niscaya kebaikannya
tidaklah sempur-na.
(3) Ditambah lagi, pahala yang baik ini, ﴾ مَّٰكِثِينَ فِيهِ أَبَدٗا 3 ﴿
"mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." Tidak akan pernah lenyap dari mereka, dan
mereka pun tidak lepas darinya. Bahkan kenikmatan mereka senantiasa bertambah setiap waktu. Di
dalam penyebutan kabar gembira terdapat sesuatu yang menuntut penye-butan amal yang mewajibkan
bagi orang yang diberi kabar gembira untuk melakukannya, yaitu bahwa al-Qur`an ini telah
mencakup setiap amal shalih yang mengantarkan kepada sesuatu yang mem-buat jiwa senang dan ruh
berbahagia.
(4-5) ﴾ وَيُنذِرَ ٱلَّذِينَ قَالُواْ ٱتَّخَذَ ٱللَّهُ وَلَدٗا 4 ﴿ "Dan untuk memperingat-kan kepada orang-orang yang berkata, 'Allah mengambil seorang anak'," dari kalangan Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik yang me-ngatakan perkataan keji ini. Sesungguhnya mereka tidak mengata-kan hal itu atas dasar ilmu dan keyakinan, mereka tidak memiliki ilmu, tidak pula memiliki ilmu dari nenek moyang mereka yang mereka ikuti. Bahkan, mereka hanyalah mengikuti prasangka dan keinginan-keinginan yang disukai oleh hawa nafsunya.
﴾ كَبُرَتۡ كَلِمَةٗ تَخۡرُجُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡۚ ﴿ "Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka," maksudnya amat besar kekejiannya dan amat parah hukumannya. Manakah kekejian yang lebih besar daripada menyandangi Allah dengan sifat bahwa Dia mengambil seorang anak yang menimbulkan konsekuensi kekuranganNya dan peran-serta pihak lain (dari makhluk) kepadaNya dalam sifat-sifat khusus rububiyyah dan uluhiyyah, dan mengadakan kedustaan atas nama-Nya?!
﴾ فَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا ﴿
"Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah?" (Al-Kahfi: 15).
Oleh karena itu, Allah di sini berfirman, ﴾ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبٗا 5 ﴿ "Mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta," yaitu kedustaan murni, tidak ada kebenaran sedikit pun padanya. Perhatikanlah, bagaimana Allah menggugurkan perkataan ini sedikit demi sedikit dan berpindah dari suatu kebatilan menuju kebatilan yang lebih parah.
Pertama, Allah mengabarkan bahwa, ﴾ مَّا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٖ وَلَا لِأٓبَآئِهِمۡۚ ﴿ "mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka." Berkata atas nama Allah tanpa ilmu, tidak diragukan lagi larangan dan kebatilannya.
Kemudian kedua, Allah mengabarkan bahwa perkataan ter-sebut adalah perkataan buruk lagi keji. Maka Allah berfirman, ﴾
كَبُرَتۡ كَلِمَةٗ تَخۡرُجُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡۚ ﴿ "Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari
mulut mereka," selanjutnya ketiga, Allah menyebutkan tingkat kejelek-annya yaitu kedustaan yang
meniadakan kebenaran.
(6) Ketika Rasulullah mempunyai animo tinggi untuk mem-berikan hidayah
kepada manusia, berupaya sekuat tenaga untuk mencapainya, maka beliau bergembira dan bersuka
cita dengan ter-capainya kesadaran hidayah pada orang-orang, dan (sebaliknya) bersedih hati serta berduka cita terhadap orang-orang yang
men-dustakan lagi sesat karena rasa iba dan kasihan beliau kepada me-reka, maka Allah membimbing
beliau supaya tidak menyibukkan dirinya dengan rasa iba kepada orang-orang yang tidak beriman
terhadap al-Qur`an ini. Sebagaimana Allah berfirman dalam [ayat] yang
lain,
﴾ لَعَلَّكَ بَٰخِعٞ نَّفۡسَكَ أَلَّا يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ 3 ﴿
"Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (de-ngan kesedihan) karena mereka (penduduk Makkah) tidak beriman." (Asy-Syu'ara`: 3).
Dan Allah تعالى berfirman,
﴾ فَلَا تَذۡهَبۡ نَفۡسُكَ عَلَيۡهِمۡ حَسَرَٰتٍۚ ﴿
"Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka." (Fathir: 8).
Di sini Allah berfirman, ﴾ فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٞ نَّفۡسَكَ ﴿ "maka (apakah) barang-kali kamu akan membunuh dirimu," maksudnya membinasakan diri-mu disebabkan kegalauan hati dan rasa prihatin kepada mereka. Padahal pahalamu sudah pasti ditanggung oleh Allah, sedangkan mereka itu, seandainya Allah mengetahui ada kebaikan pada diri mereka, niscaya Allah akan memberi mereka petunjuk. Akan tetapi, Allah mengetahui bahwa mereka tidak pantas kecuali untuk api neraka saja. Oleh karena itu, Allah menelantarkan mereka, tidak memberikan hidayah kepada mereka. Maka, perhatianmu (yang menyita) dirimu lantaran kepedihan hati dan keprihatinan kepada mereka tidak ada gunanya bagimu.
Dalam ayat ini dan ayat yang semisalnya terdapat pelajaran, bahwa orang yang diperintahkan menyeru manusia ke jalan Allah, wajib baginya menyampaikan dan berupaya menempuh segala cara yang dapat mengantarkan menuju jalan hidayah, menutup semua jalan kesesatan dan kebinasaan dengan kemampuan maksi-malnya, dilandasi dengan bertawakal kepada Allah. Jika mereka mendapatkan petunjuk, maka alangkah indahnya kenikmatan hi-dayah itu. Kalau tidak, maka tidak perlu bersedih dan berduka cita. Sebab, perasaan itu dapat melemahkan jiwa dan menghancurkan kekuatan. Tidak ada faidahnya. Justru, (sebaiknya) tetap menerus-kan pekerjaan yang dibebankan kepadanya dan berjalan ke arah sana. Adapun selain itu, maka di luar batas kemampuannya. Jika Nabi Muhammad saja diberi Firman oleh Allah,
﴾ إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ ﴿
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi…." (Al-Qashash: 56),
dan Musa عليه السلام berkata,
﴾ رَبِّ إِنِّي لَآ أَمۡلِكُ إِلَّا نَفۡسِي وَأَخِيۖ ﴿
"Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudara-ku…." (Al-Ma`idah: 25), maka orang-orang selain mereka termasuk yang lebih utama (untuk memahami hal itu). Allah تعالى berfirman,
﴾ فَذَكِّرۡ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٞ 21 لَّسۡتَ عَلَيۡهِم بِمُصَيۡطِرٍ 22 ﴿
"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah
pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka." (Al-Ghasyiyah: 21-22).