Inilah ayat hijab yang di dalamnya terkandung hukum-hukum dan etika-etika syar’iyyah.
Penurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat Umar ibnul Khattab r.a., sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab sahihain yang bersumber darinya. Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, "Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat," lalu Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al Baqarah:125), Dan aku pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu banyak ditemui oleh orang-orang, di antaranya ada yang bertakwa dan ada yang durhaka (yakni ada yang baik dan ada yang buruk), maka sekiranya engkau buatkan hijab untuk mereka,' lalu turunlah ayat hijab ini. Dan aku pernah berkata kepada istri-istri"Nabi Saw. pada saat mereka bersekongkol memprotes Nabi Saw. karena terdorong oleh rasa cemburu mereka, 'Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih"baik daripada kamu.' Maka turunlah ayat yang menyebutkan hal yang sama," yaitu firman-Nya: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih baik daripada kamu. ' (At Tahriim:5)
Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan pula bahwa Umar mengeluarkan pendapatnya sehubungan dengan tawanan Perang Badar, dan masalah ini adalah hal yang keempatnya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, dari Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, yang masuk menemuimu ada orang yang bertakwa dan ada pula yang durhaka, maka sebaiknya enkau perintahkan kepada Ummahatul Mu-minin (semua istrimu) memakai hijab." Maka Allah menurunkan ayat hijab ini. Disebutkan bahwa penurunan ayat ini bertepatan dengan pagi hari perkawinan Rasulunah Saw. dengan Zainab binti Jahsy yang perkawinannya dilakukan langsung oleh Allah Swt. (melalui wahyu-Nya).
Peristiwa ini terjadi pada bulan Zul Qa'dah tahun lima hijriah, menurut pendapat Qatadah, Al-Waqidi, dan selain keduanya. Tetapi Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna dan Khalifah ibnu Khayyat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun tiga hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mijlaz, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan, "Ketika Rasulullah Saw. menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang sejumlah orang, lalu menjamu mereka, kemudian mereka bercakap-cakap di majelis itu. Kemudian kelihatan beliau Saw. hendak bangkit, dan kaum masih duduk-duduk saja. Melihat keadaan itu beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk. Nabi Saw. datang lagi dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian mereka bangkit dan pergi. Lalu Aku (Anas ibnu Malik) menghadap dan menceritakan kepada Nabi Saw. bahwa kaum telah pergi. Lalu Nabi Saw. bangkit hendak masuk, dan aku pergi mengikutinya. Tetapi tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan aku, lalu turunlah firman Allah Swt.: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu' (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat."
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula di tempat yang lain, juga Imam Muslim dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal dengan sanad yang sama melalui hadis Abu Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan, bahwa Nabi Saw. ketika kawin dengan Zainab binti Jahsy mengadakan jamuan walimah dari makanan roti dan daging. Lalu aku disuruh untuk mengundang kaum kepada jamuan walimah itu. Maka datanglah suatu kaum, lalu mereka makan, setelah itu pergi. Kemudian datang pula kaum yang lain, mereka langsung makan, dan sesudahnya mereka keluar. Aku terus mengundang orang-orang hingga tidak kutemukan lagi seseorang yang kuundang, lalu aku berkata kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, semua orang telah kuundang dan tiada lagi yang tertinggal." Maka beliau Saw. bersabda: Bereskanlah jamuan kalian. Tetapi masih ada tiga orang yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah. Maka Nabi Saw. keluar dan menuju ke kamar Siti Aisyah r.a., lalu mengucapkan salam: Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepada kalian, hai Ahlul Bait. Siti Aisyah menjawab, "Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu. Bagaimanakah engkau jumpai istri barumu, ya Rasulullah? Semoga Allah memberkatimu." Lalu beliau Saw. mendatangi tiap-tiap kamar istrinya, semuanya menjawab jawaban yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, dan mengucapkan kata selamat seperti yang diucapkan oleh Aisyah. Setelah itu Nabi Saw. kembali, dan ternyata masih ada tiga orang di dalam rumahnya sedang asyik bercakap-cakap. Nabi Saw. adalah seorang yang pemalu, maka beliau berangkat menuju kamar Siti Aisyah. Aku (Anas) tidak ingat lagi apakah aku memberitahukan kepadanya ataukah beliau telah diberi tahu bahwa semua tamu telah pergi, jelasnya beliau kembali, dan pada saat beliau melangkahkan kakinya di balik pintu bagian dalamnya, sedangkan kaki yang lainnya masih di luar pintu, tiba-tiba beliau menurunkan kain penutup yang menghalang-halangi antara aku dan beliau. Dan saat itulah diturunkan ayat hijab ini.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Mansur, dari Abdullah ibnu Bukair As-Sahmi, dari Humaid, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa ada dua orang perawi yang meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara tunggal melalui hadis Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Muzaffar, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Al-Ja'id Abu Usman Al-Yasykuri, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan malam pertamanya dengan salah seorang istri barunya. Maka Ummu Sulaim membuat hais (makanan), kemudian meletakkannya di sebuah baki, lalu berkata, "Bawalah makanan ini kepada Rasulullah Saw. dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakanlah kepadanya bahwa kiriman ini dari kami untuk beliau dengan apa adanya." Anas mengatakan bahwa saat itu orang-orang sedang dalam keadaan paceklik, lalu aku sampaikan kiriman tersebut dan kukatakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim mengirimkan hidangan ini kepadamu, dan dia menyampaikan salamnya untukmu seraya mengatakan bahwa makanan yang apa adanya ini darinya buat engkau." Rasulullah Saw. melihat kiriman itu, lalu bersabda, "Letakkanlah." Maka makanan itu kuletakkan di salah satu sudut rumah Nabi Saw. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Undanglah si Fulan dan si Anu," beliau menyebutkan nama beberapa orang lelaki yang jumlahnya cukup banyak, lalu beliau menambahkan, "Dan undang pulalah orang muslim yang kamu jumpai." Maka aku sampaikan undangan beliau kepada orang-orang yang telah beliau sebutkan namanya, juga setiap orang muslim yang kujumpai. Ketika aku datang, rumah, halaman dan ruangan tamu penuh dengan orang-orang. Maka aku bertanya, "Hai Abu Usman, berapa orangkah mereka semuanya?" Abu Usman menjawab, "Kurang lebih ada tiga ratus orang." Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Kemarikanlah makanan itu!" Maka aku datangkan makanan itu kepadanya, dan beliau meletakkan tangannya di atas makanan tersebut, lalu berdoa dan bersabda, "Ini adalah kehendak Allah." Kemudian bersabda: Hendaklah tiap sepuluh orang membuat suatu lingkaran dan hendaklah mereka membaca bismillah, dan hendaklah setiap orang memakan makanan yang ada didekatnya. Lalu mereka membaca basmalah dan makan hingga semuanya merasa kenyang. Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda kepadaku, "Angkatlah hidangan itu!" Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengambil baki yang berisikan makanan itu, dan ia melihat isinya, tetapi ia tidak ingat lagi apakah saat ia meletakkan hidangan itu lebih banyak ataukah saat mengambilnya lebih banyak (maksudnya makanan tersebut kelihatannya masih utuh seperti semula). Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ada beberapa orang lelaki yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah Rasulullah Saw., sedangkan istri Rasulullah Saw. yang baru dinikahi itu ada bersama mereka, memalingkan wajahnya ke arah tembok. Ternyata mereka memperpanjang percakapannya. Hal itu membuat Rasulullah Saw. keberatan, tetapi beliau tidak mau menegur mereka karena beliau adalah orang yang sangat pemalu. Seandainya diberi tahu, pastilah mereka merasa tidak enak karena sedang asyik dalam obrolannya. Maka Rasulullah Saw. pergi dan menemui tiap-tiap istrinya di kamarnya masing-masing, kepada tiap orang dari mereka beliau mengucapkan salam. Ketika para hadirin yang masih ada melihat Rasulullah Saw. tiba, mereka baru sadar bahwa diri mereka merepotkan Rsulullah Saw. Karena itu, mereka segera bangkit menuju pintu, lalu keluar. Rasulullah Saw. datang, lalu menutupkan kain pintu dan masuk ke dalam kamar, sedangkan aku (Anas) berada di ruang tamunya. Rasulullah Saw. tinggal di dalam kamarnya sesaat yang tidak lama, dan Allah menurunkan wahyu Al-Qur'an kepadanya. Setelah itu beliau keluar dari kamar dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat. Sahabat Anas mengatakan bahwa Nabi Saw. terlebih dahulu membacakan ayat-ayat tersebut kepadaku sebelum orang lain, lalu aku menceritakannya kepada orang-orang selama suatu masa.
Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui Qutaibah, dari Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Imam Bukhari meriwayatkannya secara ta'liq di dalam Kitabun Nikah. Ia mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Tuhman telah meriwayatkan hadis ini dari Al-Ja'd alias Abu Usman, dari Anas, lalu disebutkan hal yang semisal.
Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Al-Jahd dengan sanad yang sama. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan hadis ini melalui Syarik, dari Bayan ibnu Bisyr, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abu Nadrah Al-Abdi, dari Anas ibnu Malik dengan lafaz yang semisal, tetapi mereka tidak ada yang mengetengahkannya melalui jalur ini. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Sa'id dan hadis Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahz dan Hasyim ibnul Qasim. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabitt, dari Anas yang mengatakan bahwa setelah idah Zainab habis, Rasulullah Saw. bersabda kepada Zaid (bekas suaminya): Pergilah kamu kepadanya, dan ceritakanlah kepadanya bahwa aku menyebut-nyebutnya. Zaid berangkat hingga sampai ke rumah Zainab, saat itu Zainab sedang membuat adonan roti. Ketika aku melihatnya, terasa dadaku keberatan memandangnya. Lalu disebutkan hadis selanjutnya seperti yang telah dikemukakan jauh sebelum ini, pada tafsir firman-Nya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). (Al Ahzab:37)
Pada akhir riwayat ini ditambahkan pula bahwa lalu Nabi Saw. menasihati orang-orang dengan nasihat yang biasa beliau utarakan kepada mereka.
Hasyim dalam hadisnya mengatakan (menyitir firman Allah Swt.): Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan. (Al Ahzab:53), hingga akhir ayat.
Imam Muslim dan Imam Nasai telah mengetengahkannya melalui hadis Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman anak saudaranya Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku pamanku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa istri-istri Nabi Saw. apabila membuang hajat besarnya di malam hari keluar menuju ke Manasi', yaitu tanah lapang yang luas. Dan Umar r.a. selalu berkata kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, pakailah hijab buat istri-istrimu," tetapi Rasulullah Saw. tidak mengindahkannya. Lalu Saudah binti Zam'ah (istri Rasulullah Saw.) keluar untuk membuang hajat besarnya. Dia adalah seorang wanita yang berperawakan tinggi, maka Umar menyerunya dengan suara yang keras, "Kami telah mengenalmu, hai Saudah." Umar melakukan demikian karena keinginannya yang sangat agar diturunkan wahyu mengenai hijab. Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah Swt. menurunkan ayat hijab.
Demikianlah menurut riwayat ini secara apa adanya. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, peristiwa ini terjadi sesudah turunnya ayat hijab, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam Muslim melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan:
bahwa Saudah keluar untuk suatu keperluannya sesudah diturunkan ayat hijab. Saudah adalah seorang wanita yang berperawakan besar lagi tinggi, tidak samar lagi bagi orang yang mengenalnya. Lalu Saudah kelihatan oleh Umar ibnul Khattab, maka Umar berkata, "Hai Saudah, ingatlah, demi Allah, engkau tidak samar lagi bagi kami. Karena itu, perhatikanlah dahulu di sekitarmu sebelum kamu keluar." Maka Saudah kembali lagi ke rumah, saat itu Rasulullah Saw. sedang makan malam dan sedang memegang daging paha di tangannya. Saudh masuk, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya keluar untuk suatu keperluan, lalu Umar mengatakan anu dan anu." Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Saw. Setelah wahyu selesai dan tangan Nabi Saw. masih keringatan karena beratnya wahyu, beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian (kaum wanita) untuk keluar guna keperluan kalian.
Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari.
Firman Allah Swt.:
Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al Ahzab:53)
Melalui ayat ini Allah Swt. melarang orang-orang mukmin masuk ke dalam rumah-rumah Nabi Saw. tanpa izin, tidak sebagaimana biasanya yang mereka lakukan di masa Jahiliah dan masa permulaan Islam di mana mereka masuk ke rumah-rumah mereka tanpa izin. Maka Allah merasa cemburu dengan umat ini, lalu Dia memerintahkan mereka agar meminta izin terlebih dahulu bila mau masuk ke rumah orang. Hal ini pun merupakan suatu penghormatan dari Allah Swt. terhadap umat ini. Untuk itulah maka Rasulullah Saw. bersabda:
Jangan sekali-kali kalian masuk menemui wanita.
hingga akhir hadis.
Kemudian dikecualikan dari hal tersebut melalui firman-Nya:
kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). (Al Ahzab:53)
Mujahid dan Qatadah serta selain keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak menunggu-nunggu masaknya makanan itu. Dengan kata lain, janganlah kalian mengintai-intai makanan bila sedang dimasak, sehingga manakala makanan itu hampir masak, lalu kalian masuk ke rumah (yang mempunyai hajat). Hal ini termasuk perbuatan yang tidak disukai oleh Allah Swt. dan dicela-Nya. Ayat ini mengandung dalil yang mengharamkan sikap slamit (jawa, mengharamkan sesuatu dari orang lain, pent.) yang menurut orang Arab disebut dengan istilah daifan. Sehubungan dengan topik ini Al-Khatib Al-Bagdadi telah menulis sebuah kitab tersendiri yang membahas tercelanya sifat ini, lalu dikemukakan pula sebagian dari kisah-kisah mereka yang berperangai demikian, hal itu tidak akan dibahas di sini.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
tetapi jika kamu diundang, maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu. (Al Ahzab:53)
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Apabila seseorang di antara kalian mengundang saudaranya untuk suatu jamuan, hendaklah orang yang diundang memenuhinya, baik undangan pernikahan ataupun undangan lainnya.
Asal hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.
Di dalam kitab sahih disebutkan pula sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
Seandainya aku diundang untuk makan kaki kambing, pastilah aku akan memenuhinya. Dan seandainya aku dikirimi masakan kikil kambing, tentulah aku terima. Maka apabila kalian telah selesai dari menyantap jamuan, janganlah kalian merepotkan pemilik rumah, dan segeralah kalian keluar (dari rumahnya).
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
tanpa asyik memperpanjang percakapan. (Al Ahzab:53)
Sebagaimana yang dilakukan oleh ketiga orang yang disebutkan oleh hadis di atas, mereka asyik dengan obrolannya sehingga memberatkan Rasulullah Saw. yang saat itu menjadi pengantin. Allah Swt. telah berfirman menceritakannya:
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). (Al Ahzab:53)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah sesungguhnya masuk kalian ke dalam rumah Nabi Saw. tanpa izin adalah sikap yang memberatkannya dan membuatnya terganggu. Tetapi beliau Saw. merasa berat untuk menyuruh mereka keluar, sebab Nabi Saw. adalah seorang yang pemalu, hingga pada akhirnya Allah Swt. menurunkan ayat yang melarang hal tersebut. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman selanjutnya:
dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. (Al Ahzab:53)
Karena itulah maka Allah Swt. melarang kalian bersikap demikian dan memperingatkan kalian supaya jangan mengganggu Nabi lagi. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan:
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Al Ahzab:53)
Yakni sebagaimana Allah melarang kalian masuk menemui istri-istri Nabi, maka dilarang pula kalian memandang mereka dalam keadaan bagaimanapun, sekalipun bagi seseorang di antara kalian ada keperluan yang hendak diambilnya dari mereka. Dia tidak boleh memandangnya, tidak boleh pula meminta suatu keperluan kepada mereka melainkan dari balik hijab.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mis'ar, dari Musa ibnu Abu Kasir, dari Mujahid, dari Aisyah yang menceritakan bahwa pada suatu hari ia makan hais bersama Nabi Saw. di dalam sebuah mangkuk besar, lalu lewatlah Umar. Maka Nabi Saw. mengundangnya untuk makan bersama, dan Umar pun makan bersama kami. Jari Umar bersentuhan dengan jariku (Aisyah), maka Umar berkata, "Alangkah baiknya, atau aduh, seandainya Nabi Saw. ditaati oleh kalian, niscaya tiada suatu mata pun yang melihat kalian (istri-istri Nabi Saw.)." Maka turunlah firman-Nya: Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. (Al Ahzab:53) Yakni apa yang telah Kuperintahkan kepada kalian dan apa yang telah Kusyariatkan kepada kalian tentang berhijab adalah lebih suci dan lebih baik bagi kalian.
Firman Allah Swt.:
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al Ahzab:53)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Hammad, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah. (Al Ahzab:53) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang berniat akan mengawini bekas istri Nabi Saw. bila beliau Saw. sudah tiada. Seorang lelaki bertanya kepada Sufyan, "Apakah dia adalah Aisyah?" Sufyan menjawab, "Mereka telah menceritakan hal tersebut."
Telah meriwayatkan pula berikut sanadnya dari As-Saddi, bahwa lelaki yang berniat demikian adalah Talhah ibnu Abdullah r.a. hingga turunlah wahyu yang mengingatkannya bahwa hal itu diharamkan.
Karena itulah para ulama telah sepakat bahwa setelah Rasulullah Saw. wafat, maka istri-istrinya haram dikawini oleh orang lain karena mereka bukan saja sebagai istri-istri beliau di dunia ini, tetapi juga di akhirat, mereka juga adalah Ummahatul Mu-minin alias ibu-ibu semua kaum mukmin, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang sempat kawin dan menggaulinya, lalu menceraikannya semasa Rasulullah Saw. masih hidup. Maka apakah wanita itu halal bagi lelaki lain untuk dikawininya? Ada dua pendapat sehubungan dengan masalah ini. Permasalahan keduanya timbul dari pertanyaan, bahwa apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian umum firman-Nya: sesudah ia wafat. (Al Ahzab:53) Ataukah tidak? Adapun mengenai masalah seseorang yang mengawininya (yakni bekas istri Nabi Saw.), lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka kami tidak mengetahui apakah dia halal atau tidak bagi orang lain. Bila keadaannya demikian, masalahnya masih diperselisihkan. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, bahwa Nabi Saw. wafat, sedangkan Qailah bintil Asy'as (yakni Ibnu Qais) berada dalam kepemilikan Nabi Saw. sebagai hamba sahayanya. Sesudah itu Qailah dikawini oleh Ikrimah ibnu Abu Jahal, maka peristiwa ini sangat memberatkan hati Abu Bakar. Lalu Umar mengemukakan pendapatnya kepada Abu Bakar, "Hai Khalifah Rasulullah, sesungguhnya dia (Qailah) bukan termasuk salah seorang istri Nabi Saw. Sesungguhnya Rasulullah Saw. tidak pernah memilihnya, tidak pula menghijabnya (memakaikan hijab padanya). Allah telah melepaskan dia dari Nabi Saw. karena dia pernah murtad mengikut kepada kaumnya." Amir melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mendengar saran dari sahabat Umar itu barulah hati Abu Bakar r.a. merasa tenang.
Allah Swt. menganggap hal itu termasuk dosa besar dan memperingatkan serta mengancam pelakunya melalui firman-Nya:
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al Ahzab:53)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Ahzab:54)
Maksudnya, betapapun hati sanubari kalian menyimpan sesuatu dan menyembunyikan rahasia, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (Al-Mu-min: 19)