Az-Zariyat Ayat 19
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ ( الذاريات: ١٩ )
Wa Fī 'Amwālihim Ĥaqqun Lilssā'ili Wa Al-Maĥrūmi. (aḏ-Ḏāriyāt 51:19)
Artinya:
Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta. (QS. [51] Az-Zariyat : 19)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Orang-orang yang bertakwa itu selalu taat dalam melaksanakan ajaran Allah, dan mereka juga menyadari bahwa pada harta benda yang mereka miliki sesungguhnya ada hak yang mesti dikeluarkan, baik berupa zakat maupun sedekah, untuk orang miskin yang meminta bantuan dan orang miskin yang tidak mengulurkan tangan untuk meminta kepada orang lain.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini menjelaskan bahwa di samping mereka melaksanakan salat wajib dan sunah, mereka juga selalu mengeluarkan infaq fi sabilillah dengan mengeluarkan zakat wajib atau sumbangan derma atau sokongan sukarela karena mereka memandang bahwa pada harta-harta mereka itu ada hak fakir miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta bagian karena merasa malu untuk meminta. Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw pernah menerangkan siapa saja yang tergolong orang miskin, dengan sabdanya: Bukanlah orang miskin itu yang tidak diberi sebiji dan dua biji kurma atau sesuap dan dua suap makanan. Beliau ditanya, "(Jika demikian) siapakah yang dinamakan miskin itu?" Beliau menjawab, "Orang yang tidak mempunyai apa yang diperlukan dan tidak dikenal tempatnya sehingga tidak diberikan sedekah kepadanya. Itulah orang yang mahrum tidak dapat bagian." (Riwayat Ibnu Jarir dari Abu Hurairah) Di dalam Al-Qur'an terdapat tiga kelompok ayat yang selalu ber dampingan, tidak dapat dipisahkan yaitu perintah untuk salat danmengeluarkan zakat, perintah supaya taat kepada Allah dan rasulNya, dan perintah untuk bersyukur kepada Allah dan kedua ibubapak. Setelah Allah menerangkan sifat-sifat orang yang bertakwa, maka Allah menjelaskan bahwa mereka itu melihat dengan hati nurani tanda-tanda kekuasaan Allah pada alam kosmos, pada alam semesta yang melintang di sekelilingnya, di bumi dan di langit sehingga memiliki ketenangan jiwa, sebagai tanda seorang yang sudah makrifah kepada Allah.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)
Setelah Allah Swt. menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan salat malam hari, lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Dan pada harta mereka ada hak. (Adz-Dzariyat: 19)
Yaitu bagian yang telah mereka pisahkan, sengaja disiapkan untuk diberikan kepada orang yang meminta-minta dan yang tidak mendapat bagian. Adapun pengertian sa'il sudah jelas, yaitu orang yang mulai meminta-minta dan dia punya hak untuk meminta-minta, seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya yang menyebutkan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak, sekalipun ia datang dengan berkendaraan di atas kuda.
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Abu Daud menyandarkannya melalui jalur lain, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Al-Hurmas ibnu Ziad secara marfu' hal yang semisal.
Adapun pengertian orang yang mahrum, maka menurut Ibnu Abbas r.a. dan Mujahid, artinya orang yang beruntung karena tidak mempunyai jatah dari Baitul Mal, tidak mempunyai mata pencaharian, tidak pula mempunyai keahlian profesi yang dapat dijadikan tulang punggung kehidupannya.
Ummul Mu’minin Aisyah r.a. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Muharif (orang yang tidak mendapat bagian atau tidak beruntung) ialah orang yang sulit dalam mencari mata pencaharian. Ad-Dahhak mengatakan bahwa orang yang mahrum ialah orang yang tidak sekali-kali mempunyai harta melainkan habis saja, dan itu sudah menjadi takdir Allah baginya.
Abu Qilabah mengatakan bahwa pernah ada banjir melanda Yamamah yang merusak harta seseorang, maka seseorang dari kalangan sahabat mengatakan bahwa orang ini adalah orang yang mahrum.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan pula —demikian juga Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Nafi' maula Ibnu Umar, dan Ata ibnu Abu Rabah— bahwa yang dimaksud dengan orang yang mahrum ialah orang yang tidak mendapat bagian (tidak beruntung).
Qatadah dan Az-Zuhri mengatakan bahwa orang mahrum adalah orang yang tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta ke sana dan kemari yang pergi setelah diberi sesuap dua suap makanan, atau sebiji dua biji buah kurma. Tetapi orang yang miskin (sesungguhnya) ialah orang yang tidak mendapatkan kecukupan bagi penghidupannya, dan tidak pula diketahui keadaannya hingga mudah diberi sedekah.
Hadis ini telah disandarkan oleh Syaikhain dalam kitab sahih masing-masing melalui jalur lain. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa orang yang miskin adalah orang yang datang, sedangkan ganimah telah habis dibagikan dan tiada yang tersisa lagi untuknya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku sebagian teman-teman kami yang mengatakan bahwa kami pernah bersama Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz di tengah jalan ke Mekah, lalu datanglah seekor anjing, maka Umar r.a. memberikan kepadanya sepotong paha kambing yang ia comot dari kambing panggangnya, dan orang-orang yang bersamanya mengatakan bahwa sesungguhnya anjing itu mahrum.
Asy-Sya'bi mengatakan, "Aku benar-benar kepayahan dalam mencari makna yang dimaksud dari lafaz mahrum." Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa orang yang mahrum adalah orang yang tidak memiliki harta lagi karena sesuatu penyebab, semua hartanya telah lenyap. Baik hal itu karena dia tidak mampu mencari mata pencaharian atau karena hartanya telah ludes disebabkan musibah atau faktor lainnya.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Al-Hasan ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu pasukan, lalu mereka mendapat ganimah, maka datanglah kepada Nabi Saw. suatu kaum yang tidak menyaksikan pembagian ganimah itu. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)
Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah Madaniyah, padahal kenyataannya tidaklah demikian: ia Makkiyyah yang juga mencakup peristiwa yang akan terjadi sesudahnya.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta) karena ia memelihara dirinya dari perbuatan itu.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Di dalam harta mereka terdapat hak orang-orang yang memerlukan, baik yang meminta maupun yang tidak.
6 Tafsir as-Saadi
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguh-nya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (Adz-Dzariyat: 15-19).
(15) Allah سبحانه وتعالى berfirman menyebutkan balasan orang-orang yang bertakwa serta amalan-amalan mereka yang menyampaikan mereka pada balasan itu, ﴾ إِنَّ ٱلۡمُتَّقِينَ ﴿ "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa," yaitu orang-orang yang menjadikan takwa sebagai syiar dan ketaatan terhadap Allah سبحانه وتعالى sebagai pakaian mereka,﴾ فِي جَنَّٰتٖ ﴿ "berada di dalam taman-taman (surga)," yang di dalamnya ter-dapat semua jenis pohon dan buah-buahan, sebagiannya ada yang mirip dengan buah dunia serta ada yang tidak memiliki kesamaan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia, ﴾ وَعُيُونٍ ﴿ "dan di mata air-mata air," yang memancarkan air yang diserap oleh taman-taman surga, diminum oleh hamba-hamba Allah سبحانه وتعالى, dan memancarkan air dengan melimpah.
(16) ﴾ ءَاخِذِينَ مَآ ءَاتَىٰهُمۡ رَبُّهُمۡۚ ﴿ "Sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka," kemungkinan makna ayat ini adalah penduduk surga diberi berbagai nikmat oleh Rabb mereka, mereka mengambilnya secara suka cita, jiwa mereka bahagia. Mereka tidak menginginkan pengganti nikmat tersebut dan mereka tidak ingin mencari yang lain. Masing-masing penduduk surga mendapatkan berbagai kenikmatan yang membuatnya tidak meminta lebih. Ke-mungkinan juga makna ayat ini menjelaskan sifat-sifat orang yang bertakwa di dunia, mereka menerima apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah سبحانه وتعالى, perintah dan larangan itu diterima dengan lapang dada seraya tunduk dan patuh terhadap perintah Allah سبحانه وتعالى dengan dilaksanakan secara sempurna dan menjauhi larangan Allah سبحانه وتعالى secara sempurna. Perintah dan larangan yang diberikan kepada mereka itu merupakan karunia terbesar yang berhak disyu-kuri dan ditaati.
Makna pertama sesuai dengan redaksi ayat, sebab Allah سبحانه وتعالى menyebutkan sifat-sifat orang yang bertakwa ketika di dunia dan amalan-amalan mereka, ﴾ إِنَّهُمۡ كَانُواْ قَبۡلَ ذَٰلِكَ ﴿ "Sesungguhnya mereka se-belum itu," pada saat mendapatkan kenikmatan adalah, ﴾ مُحۡسِنِينَ ﴿ "orang-orang yang berbuat baik." Kebaikan di sini mencakup kebaikan mereka dalam menyembah Rabb mereka, mereka menyembahNya seolah-olah mereka melihatNya, meski mereka tidak melihatNya tapi Dia melihat mereka. Kebaikan tersebut juga mencakup berbuat baik terhadap sesama hamba Allah سبحانه وتعالى dengan mencurahkan ber-bagai manfaat serta kebaikan berupa harta, ilmu, jabatan, nasihat, perintah untuk kebaikan, larangan dari kemungkaran atau kebaikan lainnya hingga kebaikan tersebut mencakup berbuat baik dalam perkataan lembut dan berbuat baik terhadap budak dan hewan, baik yang dimiliki maupun tidak.
(17)(Jenis) kebaikan yang paling utama dalam menyembah Sang Maha Pencipta adalah shalat malam yang menunjukkan ke-ikhlasan serta kesesuaian antara hati dan lisan. Karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ كَانُواْ ﴿ "Mereka," orang-orang yang berbuat baik ter-sebut, ﴾ قَلِيلٗا مِّنَ ٱلَّيۡلِ مَا يَهۡجَعُونَ ﴿ "sedikit sekali tidur di waktu malam," artinya, tidur mereka hanya sebentar, kebanyakan mereka melakukan ketaatan terhadap Rabb mereka antara shalat, membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa, dan menundukkan hati.
(18) ﴾ وَبِٱلۡأَسۡحَارِ ﴿ "Dan di akhir-akhir malam," yaitu sebelum fajar, ﴾ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ ﴿ "mereka memohon ampun (kepada Allah)." Mereka melaksanakan shalat hingga waktu sahur, kemudian duduk di akhir shalat malamnya seraya memohon ampunan Allah سبحانه وتعالى layaknya orang berdosa yang memohon ampunan atas dosanya. Memohon ampunan di waktu menjelang fajar memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki pada waktu-waktu lain sebagaimana yang di-firmankan Allah سبحانه وتعالى tentang ahli iman dan taat,
﴾ وَٱلۡمُسۡتَغۡفِرِينَ بِٱلۡأَسۡحَارِ 17 ﴿
"Dan orang-orang yang memohon ampunan di waktu sahur." (Ali Imran: 17).
(19) ﴾ وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ ﴿ "Dan pada harta-harta mereka ada hak," yang wajib dan sunnah, ﴾ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ﴿ "untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian," yakni, orang-orang yang memerlukan, baik yang meminta-minta maupun tidak.