At-Talaq Ayat 7
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ ( الطلاق: ٧ )
Liyunfiq Dhū Sa`atin Min Sa`atihi Wa Man Qudira `Alayhi Rizquhu Falyunfiq Mimmā 'Ātāhu Allāhu Lā Yukallifu Allāhu Nafsāan 'Illā Mā 'Ātāhā Sayaj`alu Allāhu Ba`da `Usrin Yusrāan. (aṭ-Ṭalāq̈ 65:7)
Artinya:
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (QS. [65] At-Talaq : 7)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan, yaitu suami yang berkecukupan, memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dan memberikan imbalan kepadanya karena telah menyusui anaknya, dari kemampuannya yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan adapun orang yang terbatas rezekinya, yakni suami yang tidak sanggup, hendaklah memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dari harta yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, rezeki dan kemampuan; Allah akan memberikan kemudahan kepada seseorang setelah ia menunjukkan kegigihan dalam menghadapi kesulitan.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kewajiban ayah memberikan upah kepada perempuan yang menyusukan anaknya menurut kemampuannya. Jika kemampuan ayah itu hanya dapat memberi makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 286)
Dalam ayat lain juga dijelaskan:
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 233)
Tidak ada yang kekal di dunia. Pada suatu waktu, Allah akan mem-berikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kesenangan sesudah penderitaan. Allah berfirman:
Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (asy-Syarh/94: 6)
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. (Ath-Thalaq: 7)
Artinya, hendaklah orang tua si bayi atau walinya memberi nafkah kepada bayinya sesuai dengan kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. (Ath-Thalaq: 7)
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya: (Al-Baqarah: 286)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakkam, dari Abu Sinan yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya mengenai Abu Ubaidah. Maka dikatakan kepadanya, bahwa sesungguhnya Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang kasar dan memakan makanan yang paling sederhana. Maka Khalifah Umar r.a. mengirimkan kepadanya seribu dinar, dan mengatakan kepada kurirnya, "Perhatikanlah apakah yang dilakukan olehnya dengan uang seribu dinar ini jika dia telah menerimanya." Tidak lama kemudian Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang halus dan memakan makanan yang terbaik, lalu kurir itu kembali kepada Umar r.a. dan menceritakan kepadanya perubahan tersebut. Maka Umar mengatakan bahwa semoga Allah merahmatinya. Dia menakwilkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (At-Thalaq: 7)
Firman Allah Swt.:
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Ath-Thalaq: 7)
Ini merupakan janji dari Allah, dan janji Allah itu benar dan tidak akan disalahi-Nya. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Al-Insyirah: 5-6)
Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadis sehubungan dengan hal ini yang baik dikemukakan di sini. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abul Hamid ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa Abu Hurairah r.a. pernah bercerita bahwa di zaman yang silam pernah ada seorang lelaki dan istrinya yang hidup dalam kemiskinan, keduanya tidak mampu menghasilkan apa pun. Dan di suatu hari suaminya datang dari perjalanannya, lalu masuk ke dalam rumah menemui istrinya, sedangkan perutnya keroncongan dicekam rasa lapar yang berat. Lelaki itu bertanya kepada istrinya, "Apakah engkau mempunyai sesuatu makanan?" Istrinya menjawab, "Ya, bergembiralah kita telah diberi rezeki oleh Allah." Lalu si suami mendesaknya dan mengatakan, "Celakalah engkau ini, aku menginginkan sesuatu makanan yang ada padamu." Si istri menjawab, "Ya, tunggu sebentar," seraya mengharapkan rahmat dari Allah. Dan ketika suaminya menunggu cukup lama, akhirnya ia berkata, "Celakalah kamu ini, sekarang bangkitlah dan ambillah jika engkau memiliki sesuatu, lalu datangkanlah kepadaku, karena sesungguhnya aku benar-benar sangat lelah dan lapar sekali." Istrinya menjawab, "Baiklah, sekarang aku akan membuka dapurku, jangan kamu terburu-buru." Setelah suaminya diam sesaat dan si istri menunggu suaminya berbicara lagi kepadanya, si istri berkata kepada dirinya sendiri, "Sebaiknya sekarang aku bangkit untuk melihat dapurku." Lalu ia bangkit dan menuju ke dapurnya, maka ia melihat ke dapurnya dan merasa terkejut karena penuh dengan paha kambing (yang sedang dipanggang), sedangkan penggilingan tepungnya bergerak sendiri menggiling tepung. Maka ia bangkit menuju tempat penggilingan tepung itu dan membersihkannya, lalu mengeluarkan kambing panggang yang ada pada dapur pembakarannya. Kemudian Abu Hurairah melanjutkan, bahwa demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di tangan kekuasaan-Nya. Demikianlah yang dimaksud oleh ucapan Muhammad Saw.:
Seandainya wanita itu hanya mengambil adonan yang ada pada penggilingannya dan tidak membersihkannya, niscaya penggilingannya itu akan tetap bekerja menggiling sampai hari kiamat nanti.
Di tempat lain Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Hisyam, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa seorang lelaki masuk menemui keluarganya; dan ketika ia melihat kelaparan yang melanda keluarganya, ia keluar menuju hutan. Ketika istri lelaki itu melihat keadaan demikian, maka ia bangkit menuju tempat penggilingan tepungnya. Kemudian ia siapkan penggilingan tepung itu, dan ia menuju pula ke tempat perapian dapurnya, lalu menyalakannya. Kemudian ia berdoa, "Ya Allah, berilah kami rezeki." Lalu ia melihat ke arah pancinya dan ternyata pancinya telah penuh dengan makanan. Kemudian pergi ke arah dapurnya, dan ternyata ia menjumpai perapian dapurnya telah penuh pula dengan roti. Ketika suaminya datang, langsung bertanya, "Apakah kamu mendapatkan sesuatu makanan sesudah kepergianku?" Istrinya menjawab, "Ya, dari Tuhan kita," seraya berisyarat ke arah penggilingan tepungnya. Kemudian kisah ini diceritakan kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya jika wanita itu tidak mengangkat penggilingannya (yakni membersihkannya), niscaya ia akan tetap berputar sampai hari kiamat.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Hendaklah memberikan nafkah) kepada istri-istri yang telah ditalak, dan kepada istri-istri yang sedang menyusukan (orang yang mampu menurut kemampuannya. Dan orang yang dibatasi) disempitkan (rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang didatangkan kepadanya) yaitu dari rezeki yang telah diberikan kepadanya (oleh Allah) sesuai dengan kemampuannya. (Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan) dan ternyata Allah memberikan kelapangan itu melalui kemenangan-kemenangan yang dialami oleh kaum muslimin.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Orang yang memiliki banyak rezeki dari Allah hendaknya memberi nafkah dari rezeki yang banyak itu. Dan orang yang memiliki sedikit rezeki hendaklah memberi nafkah dari sebagian harta yang diberikan Allah kepadanya itu. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
6 Tafsir as-Saadi
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikan-lah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui ke-sulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuk-nya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (Ath-Thalaq: 6-7).
(6) Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah سبحانه وتعالى melarang mengusir wanita-wanita yang dicerai dari rumah. Dalam ayat ini terdapat perintah untuk menempatkan mereka di tempat-tempat tinggal (yang layak) dengan cara yang baik, yaitu tempat yang mirip dengan rumah yang pernah ditinggali sesuai dengan ukuran kondisi suami. ﴾ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ ﴿ "Dan janganlah kamu menyusah-kan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka," maksudnya, jangan menyakiti mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan ketika kalian menempatkan mereka di rumah yang membuat mereka jemu sehingga mereka keluar dari rumah sebelum masa iddah selesai, karena dengan demikian, kalian sama saja dengan meng-usir mereka.
Kesimpulannya, tidak boleh mengeluarkan (mengusir) me-reka dan mereka juga dilarang keluar meninggalkan rumah. Allah سبحانه وتعالى juga memerintahkan para suami yang menceraikan istrinya agar menempatkan mereka di rumah dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan dampak mudarat maupun memberatkan. Masalah ini sepenuhnya dikembalikan pada kebiasaan (suatu masyarakat).
﴾ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ﴿ "Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin." Hal itu dikarenakan janin yang ada di dalam kandungannya, jika yang bersangkutan dicerai ba`in. Dan nafkah berlaku untuknya dan untuk janinnya jika yang ber-sangkutan dicerai raj'i. Batas memberikan nafkah adalah sampai melahirkan.
Jika wanita-wanita yang dicerai telah melahirkan, maka apa-kah harus menyusui atau tidak, ﴾ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ﴿ "kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah ke-pada mereka upahnya," dengan menyebutkan bilangan nafkah untuk mereka jika memang disebutkan, dan jika tidak disebutkan, maka disesuaikan dengan upah umum yang berlaku.
﴾ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ ﴿ "Dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik," maksudnya, hendaklah masing-masing dari pasangan suami-istri dan lainnya menyuruh dengan cara yang baik, yaitu semua hal yang terdapat maslahat dan manfaatnya di dunia dan di akhirat. Karena melalaikan hal ini (yaitu memerintah dengan cara yang baik) berdampak bahaya yang hanya diketahui oleh Allah سبحانه وتعالى. Di samping itu, dalam hal memerintah dengan cara yang baik juga terkandung prinsip saling membantu dalam kebaik-an dan takwa. Sehubungan dengan hal ini, pasangan suami istri yang berpisah pada masa iddah khususnya bagi yang sudah mem-punyai anak pada umumnya disertai pertengkaran tentang nafkah untuk pihak istri yang dicerai dan juga nafkah untuk anaknya di samping perceraian yang umumnya terjadi dengan disertai keben-cian. Pertengkaran akan amat dipengaruhi oleh sikap benci masing-masing pihak.
Oleh karena itu, masing-masing dari suami maupun istri diperintahkan untuk saling bergaul dengan cara yang baik serta menjauhi pertentangan dan perpecahan, Allah سبحانه وتعالى memberi nasihat demikian. ﴾ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ ﴿ "Dan jika kamu menemui kesulitan," karena kedua suami-istri tidak sepakat untuk menyusukan anak, ﴾ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ﴿ "maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya," yakni selain istrinya yang dicerai.
﴾ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ ﴿
"Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut." (Al-Baqarah: 233).
Hal ini berlaku jika si anak mau disusui oleh wanita lain. Dan jika si anak hanya mau disusui oleh ibunya, maka ia mau tidak mau harus menyusuinya. Ia wajib menyusuinya dan boleh dipaksa jika enggan dan berhak mendapatkan upah umumnya jika kedua belah pihak (suami istri) tidak sepakat menentukan upah penyusuannya. Ketetapan ini bersumber dari ayat ini secara kontekstual (makna). Seorang anak ketika masih berada di dalam perut ibunya selama masa hamil tidak bisa keluar dari perut. Pada masa ini Allah سبحانه وتعالى menentukan nafkahnya wajib ditanggung oleh ayah si anak. Ketika lahir dan bisa mendapatkan makanan dari ibunya (melalui air susunya) atau dari wanita lain, Allah سبحانه وتعالى memberikan dua alternatif; jika si anak hanya mau menyusu dari air susu ibunya, maka keten-tuannya seperti yang berlaku ketika masih hamil dan ibunya wajib menyusui agar bayinya kuat.
(7) Kemudian Allah سبحانه وتعالى menentukan nafkah berdasarkan kondisi suami seraya berfirman, ﴾ لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ ﴿ "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya." Maksud-nya, orang yang kaya harus memberi nafkah sesuai ukuran kesang-gupannya, dan bukan memberi nafkah layaknya orang miskin. ﴾ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ ﴿ "Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya," yakni rizkinya disusahkan. ﴾ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ ﴿ "Allah tidak memi-kulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah beri-kan kepadanya." Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat ilahi, karena menempatkan sesuatu sesuai ukurannya dan memberi keringanan bagi orang yang tidak punya. Allah سبحانه وتعالى tidak membebankan apa pun melainkan sesuai dengan rizki yang diberikan. Allah سبحانه وتعالى tidak membebankan kepada jiwa kecuali sebatas kesanggupannya dalam hal nafkah dan lainnya.
﴾ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا ﴿ "Allah kelak akan memberikan kelapangan se-sudah kesempitan." Ini adalah kabar gembira bagi mereka yang ku-rang mampu. Allah سبحانه وتعالى akan menghilangkan kesukaran dan beban berat mereka, karena dalam setiap kesusahan itu pasti terdapat kemudahan dan kesulitan itu pasti dibarengi kemudahan.