۞ اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ ( البقرة: ٤٤ )
'Ata'murūna An-Nāsa Bil-Birri Wa Tansawna 'Anfusakum Wa 'Antum Tatlūna Al-Kitāba 'Afalā Ta`qilūna. (al-Baq̈arah 2:44)
Artinya:
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? (QS. [2] Al-Baqarah : 44)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Selanjutnya, setelah memerintahkan salat dan zakat, ayat ini mengecam pemuka-pemuka Yahudi yang sering kali memberi tuntunan kepada orang lain agar berbuat baik, tetapi melakukan sebaliknya dan melupakan diri mereka. Mengapa kamu, Bani Israil atau pemukapemuka Yahudi, menyuruh orang lain, baik yang seagama dengan kamu maupun orang-orang musyrik atau siapa saja, untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri dan tidak menyuruh dirimu untuk melakukan kebajikan itu? Kamu melakukan hal itu, padahal kamu membaca Kitab Taurat? Tidakkah kamu mengerti dan berakal sehingga memiliki kendali yang menghalangi kamu terjerumus ke dalam dosa dan kesulitan?
Meski pembicaraan pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi, nasihat yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi kaum muslim, apalagi para pemuka agama, yakni hendaknya mengingatkan diri sendiri lebih dahulu sebelum mengajak orang lain berbuat baik.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Latar belakang ayat ini menurut Ibnu 'Abbas adalah di antara orang-orang Yahudi di Medinah ada yang memberi nasihat kepada keluarga dan kerabat dekatnya yang sudah masuk Islam supaya tetap memeluk agama Islam. Yang diperintahkan orang ini adalah benar yaitu menyuruh orang lain untuk berbuat benar tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya. Maka pada ayat ini Allah mencela tingkah laku dan perbuatan mereka yang tidak baik dan membawa kepada kesesatan. Di antara kesesatan-kesesatan yang telah dilakukan bangsa Yahudi ialah mereka menyatakan beriman kepada kitab suci mereka yaitu Taurat, tetapi ternyata mereka tidak membacanya dengan baik.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka "melupakan" diri mereka. Maksudnya ialah "membiarkan" diri mereka rugi, sebab biasanya manusia tidak pernah melupakan dirinya untuk memperoleh keuntungan, dan dia tak rela apabila orang lain mendahuluinya mendapat kebahagiaan. Ungkapan "melupakan" itu menunjukkan betapa mereka melalaikan dan tidak mempedulikan apa yang sepatutnya mereka lakukan, seakan-akan Allah berfirman, "Jika benar-benar kamu yakin kepada Allah bahwa Dia akan memberikan pahala atas perbuatan yang baik, dan mengancam akan mengazab orang-orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang baik itu, mengapakah kamu melupakan kepentingan dirimu sendiri?"
Cukup jelas bahwa susunan kalimat ini mengandung celaan yang tak ada taranya, karena barang siapa menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan kebajikan tetapi dia sendiri tidak melakukannya, berarti dia telah menyalahi ucapannya sendiri. Para pendeta yang selalu membacakan kitab suci kepada orang-orang lain, tentu lebih mengetahui isi kitab itu daripada orang-orang yang mereka suruh untuk mengikutinya. Besar sekali perbedaan antara orang yang melakukan suatu perbuatan padahal dia belum mengetahui benar faedah dari perbuatan itu, dengan orang yang meninggalkan perbuatan itu padahal dia mengetahui benar faedah dari perbuatan yang ditinggalkannya itu. Oleh sebab itu, Allah memandang bahwa mereka seolah-olah tidak berakal, sebab orang yang berakal, betapapun lemahnya, tentu akan mengamalkan ilmu pengetahuannya.
Firman Allah ini, walaupun ditujukan kepada Bani Israil, namun menjadi pelajaran pula bagi yang lain. Setiap bangsa, baik perseorangan maupun keseluruhannya, hendaklah memperhatikan keadaan dirinya, dan berusaha untuk menjauhkan diri dari keadaan dan sifat- sifat seperti yang terdapat pada bangsa Yahudi yang dikritik dalam ayat tersebut di atas, agar tidak menemui akibat seperti yang mereka alami.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. berfirman, "Apakah layak bagi kalian, hai orang-orang ahli kitab, bila kalian memerintahkan manusia berbuat kebajikan yang merupakan inti dari segala kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian tidak melakukan apa yang kalian perintahkan kepada orang-orang untuk mengerjakannya, padahal selain itu kalian membaca kitab kalian dan mengetahui di dalamnya akibat apa yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan perintah Allah? Tidakkah kalian berakal memikirkan apa yang kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri, lalu kalian bangun dari kelelapan kalian dan melihat setelah kalian buta?"
Pengertian tersebut diungkapkan oleh Abdur Razzaq dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri. Pada mulanya kaum Bani Israil memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa kepadanya, dan mengerjakan kebajikan, kemudian mereka bersikap berbeda dengan apa yang mereka katakan itu, maka Allah mengecam sikap mereka. Makna yang sama diketengahkan pula oleh As-Saddi.
Ibnu Jurairj mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan," bahwa orang-orang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu memerintahkan orang lain untuk melakukan puasa dan salat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka Allah mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan kebaikan itu dan berada paling depan daripada yang lainnya.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri," yakni meninggalkan diri kalian sendiri dalam kebajikan itu.
Firman Allah Swt.:
Padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?
Yakni kalian melarang manusia berbuat kekufuran atas dasar apa yang ada pada kalian, yaitu kenabian dan perjanjian dari kitab Taurat, sedangkan kalian meninggalkan diri kalian sendiri. Dengan kata lain, sedangkan kalian sendiri kafir terhadap apa yang terkandung di dalam kitab Taurat yang di dalamnya terdapat perjanjian-Ku yang harus kalian penuhi, yaitu percaya kepada Rasul-Ku. Ternyata kalian merusak perjanjian-Ku yang telah kalian sanggupi dan kalian mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab-Ku.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'apakah kalian memerintahkan orang lain untuk masuk ke dalam agama Nabi Muhammad Saw. dan lain-lainnya yang diperintahkan kepada kalian untuk melakukannya —seperti mendirikan salat— sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri?'.
Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Jarir, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Aslam Al-Harami, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Ayyub As-Sukhtiyani, dari Abu Qilabah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)?, Abu Darda pernah mengatakan, seseorang masih belum dapat dikatakan sebagai ahli fiqih yang sempurna sebelum dia membenci orang yang menentang Allah, kemudian ia merujuk kepada dirinya sendiri, maka sikapnya terhadap dirinya sendiri jauh lebih keras (ketimbang terhadap orang lain).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa orang-orang Yahudi itu apabila datang kepada mereka seseorang menanyakan sesuatu yang tidak mengandung perkara hak, tidak pula risywah (suap), mereka memerintahkan dia untuk mengerjakan hal yang hak. Maka Allah berfirman: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? Makna yang dimaksud ialah Allah Swt. mencela mereka atas perbuatan itu dan memperingatkan mereka akan kesalahannya yang menyangkut hak diri mereka sendiri, karena mereka memerintahkan kepada kebaikan, sedangkan mereka sendiri tidak mengerjakannya. Bukanlah pengertian yang dimaksud sebagai celaan terhadap mereka karena mereka memerintahkan kepada kebajikan, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya, melainkan karena mereka meninggalkan kebajikan itu sendiri. Mengingat amar wa'ruf/hukumnya wajib atas setiap orang alim, tetapi yang lebih diwajibkan bagi orang alim ialah melakukannya di samping memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya, dan ia tidak boleh ketinggalan.
Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Syu'aib a.s. yang disitir oleh firman-Nya:
Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya, aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berlawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (Huud:88)
Melakukan amar ma'ruf dan melakukan perbuatan makruf hukumnya wajib, masing-masing dari keduanya tidak gugur karena tidak melakukan yang lain. Demikianlah pendapat yang paling sahih dari kedua golongan ulama, yaitu ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang berbuat maksiat tidak boleh melarang orang lain untuk melakukannya. Pendapat ini lemah, dan lebih lemah lagi mereka memegang ayat ini sebagai dalil mereka, karena sesungguhnya tidak ada hujah bagi mereka dalam ayat ini.
Tetapi pendapat yang sahih mengatakan bahwa orang yang alim harus memerintahkan amar ma'ruf, sekalipun dia sendiri tidak mengerjakannya, harus melarang perbuatan yang mungkar, sekalipun dia sendiri mengerjakannya.
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal tersebut, niscaya tiada seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang bersih dari kesalahan?"
Menurut kami, dalam keadaan demikian (orang yang bersangkutan adalah seorang yang alim) ia tercela, sebab meninggalkan amal ketaatan dan mengerjakan maksiat, karena dia adalah seorang yang alim dan pelanggaran yang dilakukannya atas dasar pengetahuan, mengingat tidaklah sama antara orang yang alim dengan orang yang tidak alim. Untuk itu, banyak hadis yang mengancam orang yang melakukan hal tersebut.
Hadis kedua diketengahkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya:
telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid (yaitu ibnu Jad'an), dari Anas ibnu Malik r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Di malam aku diisrakan, aku bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka digunting dengan gunting-gunting api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu di dunia, dari kalangan orang-orang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri, padahal mereka membaca Al-Qur'an. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya, juga di dalam kitab tafsirnya yang bersumber dari Al-Hasan ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Yunus Ibnu Muhammad Al-Muaddib dan Al-Hajjaj ibnu Minhal, keduanya menerima hadis ini dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkan:
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim At-Tusturi di Balakh, telah menceritakan kepada kami Makki ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Qais, dari Ali ibnu Yazid, dari Sumamah, dari Anas yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Di malam aku diisrakan aku bersua dengan orang-orang yang bibir dan lidah mereka digunting dengan gunting-gunting dari api, lalu aku bertanya, "Siapakah mereka itu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang ceramah umatmu yang memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan ketaatan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri."
Hadis ini diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Abu Hatim serta Ibnu Murdawaih melalui hadis Hisyam Ad-Dustuwai, dari Al-Mugirah yakni Ibnu Habib menantu Malik ibnu Dinar, dari Malik ibnu Dinar, dari Sumamah, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan:
Ketika Rasulullah Saw. dibawa mikraj, beliau bersua dengan suatu kaum yang bibir mereka diguntingi, lalu beliau bertanya, "Hai Jibril, siapakah mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka adalah tukang khotbah dari kalangan umatmu, mereka memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan mereka melupakan dirinya sendiri. Maka tidakkah mereka berpikir?"
Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebut bahwa:
telah menceritakan kepada kami Ya’la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Wail yang telah menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Usamah yang saat itu aku membonceng padanya, "Mengapa engkau tidak berbicara kepada Usman?" Usamah menjawab, "Sesungguhnya kalian berpandangan bahwa tidak sekali-kali aku berbicara kepadanya melainkan aku akan memperdengarkannya kepada kalian. Sesungguhnya aku akan berbicara dengannya mengenai urusan antara aku dan dia tanpa menyinggung suatu perkara yang paling aku sukai bila diriku adalah orang pertama yang memulainya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seorang pun bahwa engkau adalah sebaik-baik orang, sekalipun dia bagiku adalah sebagai amir, sesudah aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda." Mereka bertanya, "Apakah yang telah engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab bahwa dia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Kelak di hari kiamat ada seorang lelaki yang didatangkan, lalu dicampakkan ke dalam neraka, maka berhamburanlah isi perutnya, lalu berputar-putar seraya membawa isi perutnya ke dalam neraka sebagaimana keledai berputar dengan penggilingannya. Maka penghuni neraka mengelilinginya dan mengatakan, "Hai Fulan, apakah gerangan yang telah menimpamu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan kepada kami untuk berbuat yang makruf dan melarang kami dari perbuatan yang mungkar?" Lelaki itu menjawab, "Dahulu aku memerintahkan kalian kepada perkara yang makruf, tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya, dan aku melarang kalian melakukan perbuatan yang mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakannya."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis yang semisal melalui hadis Sulaiman ibnu Mihran, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah memaafkan orang-orang yang ummi di hari kiamat dengan pemaafan yang tidak Dia lakukan terhadap ulama.
Di dalam suatu asar dijelaskan bahwa Allah memberikan ampunan bagi orang yang bodoh sebanyak tujuh puluh kali, sedangkan kepada orang yang alim cuma sekali. Tiadalah orang yang tidak alim itu sama dengan orang yang alim. Allah Swt. telah berfirman:
Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az Zumar:9)
Di dalam bab autobiografi Al-Walid ibnu Uqbah, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Sesungguhnya ada segolongan orang dari kalangan penduduk surga melihat segolongan orang dari kalangan penduduk neraka, lalu mereka bertanya, "Apakah sebabnya hingga kalian masuk neraka? Padahal demi Allah, tiada yang memasukkan kami ke surga kecuali apa yang kami pelajari dari kalian." Ahli neraka menjawab, "Sesungguhnya dahulu kami hanya berkata, tetapi tidak mengamalkannya."
Ibnu Jarir At-Tabari meriwayatkan hadis ini dari Ahmad ibnu Yahya Al-Khabbaz Ar-Ramli, dari Zuhair ibnu Abbad Ar-Rawasi, dari Abu Bakar Az-Zahiri Abdullah ibnu Hakim, dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi dari Al-Walid ibnu Uqbah, kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Hai Ibnu Abbas, sesungguhnya aku hendak melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah kamu telah melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Aku baru mau melakukannya." Ibnu Abbas berkata, "Jika kamu tidak takut nanti akan dipermalukan oleh tiga ayat dari Kitabullah, maka lakukanlah." Lelaki itu bertanya, "Apakah ayat-ayat tersebut?" Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri? Lalu dia berkata, "Apakah engkau mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata, "Ayat yang kedua ialah firman-Nya: 'Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.' (Ash Shaff:2) Apakah kamu mampu melakukannya?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Dan ayat yang ketiga ialah ucapan seorang hamba saleh —yaitu Nabi Syu'aib a.s.— yang disitir oleh firman-Nya: 'Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kalian darinya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan’ (Huud:88) Apakah kamu mampu melakukan apa yang terkandung dalam ayat ini?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Maka Ibnu Abbas berkata, "Mulailah dari dirimu sendiri!" Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebaikan), yaitu beriman pada kerasulan Muhammad (sedang kamu melupakan dirimu sendiri) hingga kamu mengabaikannya dan tak mau beriman kepadanya (padahal kamu membaca Kitab), yakni Taurat, di dalamnya tercantum ancaman atau siksaan terhadap orang yang tidak sesuai perkataan dengan perbuatannya! (Tidaklah kamu pikirkan?) akan akibat jelek perbuatanmu agar kamu insaf? Yang menjadi bahan pertanyaan dan kecaman ialah kalimat "sedang kamu melupakan..... dan seterusnya".
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Apakah kalian meminta orang lain untuk selalu berbuat kebajikan dan tetap dalam ketaatan serta menghindari kemaksiatan, sedangkan kalian tidak melaksanakan apa yang kalian katakan dan tidak berpegang teguh kepada apa yang kalian minta? Sebenarnya hal ini merupakan penyia-nyiaan terhadap diri sendiri. Kalian seakan-akan melupakan diri sendiri. Padahal, kalian sudah membaca Tawrât yang memuat ancaman, seandainya perkataan bertentangan dengan perbuatan. Bukankah kalian memiliki akal yang membentengi kalian dari perilaku yang hina itu?