لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ ( الحج: ٢٨ )
Liyash/hadū Manāfi`a Lahum Wa Yadhkurū Asma Allāhi Fī 'Ayyāmin Ma`lūmātin `Alaá Mā Razaqahum Min Bahīmati Al-'An`ām Fakulū Minhā Wa 'Aţ`imū Al-Bā'isa Al-Faqīra. (al-Ḥajj 22:28)
Artinya:
Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mere-ka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. [22] Al-Hajj : 28)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Dengan memenuhi seruan Nabi Ibrahim, mengunjungi Baitullah guna menunaikan ibadah haji, kaum muslim mendapat keuntungan dunia akhirat, yakni agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka, terutama menguatkan perasaan bersaudara di antara umat muslim, dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan dalam rangkaian manasik haji seperti berkurban dengan mengumandangkan takbir pada hari raya haji atau hari Tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12, dan 13 Zulhijah atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya, sebagai tanda bersyukur dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir sebagai tanda peduli dan berbagi dengan kaum duafa hingga perasaan gembira itu dirasakan bersama.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini menerangkan tujuan disyariatkan ibadah haji, yaitu untuk memperoleh kemanfaatan. Tidak disebutkan dalam ayat ini bentuk-bentuk manfaat itu, hanya disebut secara umum saja. Penyebutan secara umum kemanfaatan-kemanfaatan yang akan diperoleh orang yang mengerjakan ibadah haji dalam ayat ini, menunjukkan banyaknya macam dan jenis kemanfaatan yang akan diperoleh itu. Kemanfaatan-kemanfaatan itu sukar menerangkannya secara terperinci, hanya yang dapat menerangkan dan merasakannya ialah orang yang pernah mengerjakan ibadah haji dan melaksanakannya dengan niat ikhlas.
Kemanfaatan itu ada yang berhubungan dengan rohani dan ada pula dengan jasmani, dan ada yang langsung dirasakan oleh individu yang melaksanakannya, dan ada pula yang dirasakan oleh masyarakat, baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan akhirat.
Para ulama banyak yang mencoba mengungkap bentuk-bentuk manfaat yang mungkin diperoleh oleh para jamaah haji, setelah mereka mengalami dan mempelajarinya kebanyakan mereka itu menyatakan bahwa mereka belum sanggup mengungkap semua manfaat itu. Di antara manfaat yang diungkapkan itu ialah:
1. Melatih diri dengan mempergunakan seluruh kemampuan mengingat Allah dengan khusyu` pada hari-hari yang telah ditentukan dengan memurnikan kepatuhan dan ketundukan hanya kepada-Nya saja. Pada waktu seseorang berusaha mengedalikan hawa nafsunya dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan menjuahi larangan-larangan-Nya walau apapun yang menghalangi dan merintanginya. Latihan-latihan yang dikerjakan selama mengerjakan ibadah haji itu diharapkan membekas di dalam sanubari kemudian dapat diulangi lagi mengerjakannya setelah kembali dari tanah suci, sehingga menjadi kebiasaan yang baik dalam penghidupan dan kehidupan.
2. Menimbulkan rasa perdamaian dan rasa persaudaraan di antara sesama kaum Muslimin. Sejak seorang calon haji mengenakan pakaian ihram, pakaian yang putih yang tidak berjahit, sebagai tanda ia sedang mengerjakan ibadah haji, maka sejak itu ia telah menanggalkan pakaian duniawi, pakaian kesukaannya, pakaian kebesaran, pakaian kemewahan dan sebagainya. Semua manusia kelihatan sama dalam pakaian ihram itu; tidak dapat dibedakan antara si kaya dengan si miskin, antara penguasa dengan rakyat jelata, antara yang pandai dengan yang bodoh, antara tuan dengan budak, semuanya sama tunduk dan menghambakan diri kepada Tuhan semesta alam, sama-sama tawaf, sama-sama berlari antara bukit Safa dan bukit Marwa, sama-sama berdesakan melempar Jamrah, sama-sama tunduk dan tafakkur di tengah-tengah padang Arafah. Dalam keadaan demikian akan terasa bahwa diri kita sama saja dengan orang yang lain. Yang membedakan derajat antara seorang dengan yang lain hanyalah tingkat ketakwaan dan ketaatan kepada Allah. Karena itu timbullah rasa ingin tolong menolong, rasa seagama, rasa senasib dan sepenanggungan, rasa hormat menghormati sesama manusia.
3. Mencoba membayangkan kehidupan di akhirat nanti, yang pada waktu itu tidak seorang pun yang dapat memberikan pertolongan kecuali Allah, Tuhan Yang Mahakuasa. Wukuf di Arafah ditempat berkumpulnya manusia yang banyak pada hari Arafah, merupakan gambaran kehidupan di Padang Mahsyar nanti. Semua itu menggambarkan saat-saat ketika manusia berdiri di hadapan Mahkamah Allah di akhirat.
4. Menghilangkan rasa harga diri yang berlebih-lebihan. Seseorang waktu berada di negerinya, biasanya terikat oleh adat istiadat yang biasa mereka lakukan sehari-hari dalam pergaulan mereka. Sedikit saja perubahan dapat menimbulkan kesalahpahaman, perselisihan dan pertentangan. Pada waktu melaksanakan ibadah haji, bertemulah kaum Muslimin yang datang dari segala penjuru dunia, dari negeri yang berbeda-beda, masing-masing mempunyai adat istiadat dan kebiasaan hidup dan tata cara yang berbeda-beda pula maka terjadilah persinggungan antara adat istiadat dan kebiasaan hidup itu. Seperti cara berbicara, cara makan, cara berpakaian, cara menghormati tamu dan sebagainya. Di waktu menunaikan ibadah haji terjadi persinggungan dan perbenturan badan antara jama`ah dari suatu negeri, dengan jama`ah dari negara yang lain, seperti waktu tawaf, waktu sa`i, waktu wukuf di Arafah, waktu melempar jumrah dan sebagainya. Waktu salat di Masjidil Haram, tubuh seorang yang duduk dilangkahi oleh temannya yang lain karena ingin mendapatkan saf yang paling depan, demikian pula persoalan bahasa dan isyarat, semua itu mudah menimbulkan kesalahpahaman dan perselisihan. Bagi seorang yang sedang melakukan ibadah haji, semuanya itu harus dihadapi dengan sabar, dengan dada yang lapang, harus dihadapi dengan berpangkal kepada dugaan bahwa semua jamaah haji itu melakukan yang demikian itu bukanlah untuk menyakiti temannya dan bukan untuk menyinggung perasaan orang lain, tetapi semata-mata untuk mencapai tujuan maksimal dari ibadah haji. Mereka semua ingin memperoleh haji mabrur, apakah ia seorang kaya atau seorang miskin dan sebagainya.
5. Menghayati kehidupan dan perjuangan Nabi Ibrahim beserta putranya Nabi Ismail dan Nabi Muhammad beserta para sahabatnya. Waktu Ibrahim pertama kali datang di Mekah bersama istrinya Hajar dan putranya Ismail yang masih kecil, kota Mekah masih merupakan padang pasir yang belum didiami oleh seorang manusia pun. Dalam keadaan demikianlah Ibrahim meninggalkan istri dan putranya di sana, sedang ia kembali ke Palestina. Hajar dan putranya yang masih kecil merasakan berbagai penderitaan, tidak ada tempat mengadu dan minta tolong kecuali hanya kepada Tuhan saja. Sesayup-sayup mata memandang, yang ada hanyalah gunung batu, tanpa tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan tempat berlindung. Dapat dirasakan kesusahan Hajar berlari antara Safa dan Marwa mencari setetes air untuk diminum anaknya. Dapat direnungkan dan dijadikan teladan tentang ketaatan dan kepatuhan Ibrahim kepada Allah. Setelah itu beliau menyembelih putra tercintanya, Ismail, sebagai kurban, semata-mata untuk memenuhi dan melaksanakan perintah Allah. Kaum Muslimin selama mengerjakan ibadah haji dapat melihat bekas-bekas dan tempat-tempat yang ada hubungannya dengan perjuangan Nabi Muhammad beserta sahabatnya dalam menegakkan agama Allah. Sejak dari Mekah di saat beliau mendapat halangan, rintangan bahkan siksaan dari orang-orang musyrik Mekah, kemudian beliau hijrah ke Medinah, berjalan kaki, dalam keadaan dikejar-kejar orang-orang kafir. Demikianlah pula usaha-usaha yang beliau lakukan di Medinah, berperang dengan orang kafir, menghadapi kelicikan dan fitnah orang munafik dan Yahudi. Semuanya itu dapat diingat dan dihayati selama menunaikan ibadah haji dan diharapkan dapat menambah iman ketakwaan kepada Allah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
6. Setiap Muktamar Islam seluruh dunia. Pada musim haji berdatanganlah kaum Muslimin dari seluruh dunia. Secara tidak langsung terjadilah pertemuan antara sesama Muslim, antara suku bangsa dengan suku bangsa dan antara bangsa dengan bangsa yang beraneka ragam coraknya itu. Antara mereka itu dapat berbincang dan bertukar pengalaman dengan yang lain, sehingga pengalaman dan pikiran seseorang dapat diambil dan dimanfaatkan oleh yang lain, terutama setelah masing-masing mereka sampai di negeri mereka nanti. Jika pertemuan yang seperti ini diorganisir dengan baik, tentulah akan besar manfaatnya, akan dapat memecahkan masalah-maslaah yang sulit yang dihadapi oleh umat Islam di negara mereka masing-masing. Semuanya itu akan berfaedah pula bagi individu, masyarakat dan agama. Alangkah baiknya jika pada waktu itu diadakan pertemuan antara kepala negara yang menunaikan ibadah haji, pertemuan para ahli, para ulama, para pemuka masyarakat, para usahawan dan sebagainya.
Walaupun amat banyak manfaat yang akan diperoleh oleh orang yang mengerjakan ibadah haji, tetapi hanyalah Allah yang dapat mengetahui dengan pasti semua manfaat itu. Dari pengalaman orang-orang yang pernah mengerjakan haji didapat keterangan bahwa keinginan mereka menunaikan ibadah haji bertambah setelah mereka selesai menunaikan ibadah haji yang pertama. Makin sering seseorang menunaikan ibadah haji, makin bertambah pula keinginan tersebut. Rahasia dan manfaat dari ibadah haji itu dapat dipahamkan pula dari doa Nabi Ibrahim kepada Allah, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. (Ibrahim/14: 37)
Manfaat lain dari ibadah haji, yaitu agar manusia menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan dan melaksanakan kurban dengan menyembelih binatang kurban atau hadyu (dam) bagi jamaah haji yang melanggar kewajiban haji. Adapun pelaksanaannya yaitu sesudah melempar jamrah 'aqabah dan hanya dilaksanakan di tanah Haram Mekah. Sedangkan daging hadyu (dam) hanya diperuntukan bagi fakir miskin Mekah, kecuali jika sudah tidak ada fakir miskin di kota Mekah, maka daging tersebut boleh diberikan kepada orang miskin di kota/negara lain.
Yang dimaksud dengan hari-hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Pada hari-hari ini dilakukan penyembelihan binatang kurban. Waktu menyembelih binatang kurban ialah setelah pelaksanaan salat Idul Adha sampai dengan terbenamnya matahari tanggal 13 Zulhijjah. Rasulullah saw bersabda:
Siapa yang menyembelih kurban sebelum salat Idul Adha maka sesungguhnya ia hanyalah menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih sesudah salat Idul Adha (dan setelah membaca dua Khutbah) maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah melaksanakan sunnah kaum Muslimin. (Riwayat al-Bukhari dari al-Barra)
Dan sabda Rasulullah saw:
"Semua hari-hari tasyriq adalah waktu dilakukannya penyembelihan kurban." (Riwayat Ahmad dari Jubair bin Muth'im)
Setelah binatang kurban itu disembelih, maka dagingnya boleh dimakan oleh yang berkurban dan sebagiannya disedekahkan kepada orang-orang fakir dan miskin. Menurut jumhur ulama, sebaiknya orang-orang yang berkurban memakan daging kurban sebagian kecil saja, sedang sebagian besarnya disedekahkan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban dibolehkan untuk menyedekahkan seluruh daging kurbannya itu kepada fakir miskin.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka.Yakni manfaat untuk dunia dan akhirat mereka.
Manfaat akhirat bagi mereka ialah mendapat rida dari Allah Swt. Sedangkan manfaat dunia ialah apa yang mereka peroleh dari hewan kurban dan perniagaan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa yang dimaksud dengan manfaat ialah manfaat dunia dan akhirat. Sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al Baqarah:198)
Firman Allah Swt.:
supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
Syu'bah dan Hasyim telah meriwayatkan dari Abu Bisyr, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa hari-hari yang ditentukan ialah hari-hari belasan.
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini secara ta'liq hanya dengan ungkapan jazm dengan sanad yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Mujahid, Qatadah, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Ibrahim An-Nakha'i yang hal ini dijadikan pegangan oleh mazhab Imam Syafii dan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ur'urah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sulaiman, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: "Tiada suatu amal perbuatan di hari mana pun yang lebih utama daripada amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya, "Tidak pula berjihad di jalan Allah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak pula berjihad di jalan Allah, terkecuali seorang lelaki yang mengorbankan jiwa dan hartanya (di jalan Allah) dan yang pulang hanya namanya saja.”
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib sahih. Dalam bab ini terdapat pula riwayat lain dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abdullah ibnu Amr, dan Jabir.
Saya telah meneliti jalur-jalur riwayat tersebut dan membahasnya secara khusus dalam satu juz (bendel), antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada suatu hari pun yang lebih besar di sisi Allah, dan yang lebih disukai untuk dilakukan amal di dalamnya selain hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyaklah oleh kalian di hari-hari ini membaca tahlil, takbir, dan tahmid.
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula melalui jalur lain, dari Mujahid dari Ibnu Umar dengan lafaz yang semisal.
Imam Bukhari mengatakan, bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar di hari-hari belasan (dari bulan Zul Hijjah) ini, maka keduanya bertakbir dan orang-orang yang ada di pasar ikut bertakbir bersama takbir keduanya.
Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui Jabir secara marfu' bahwa hari-hari belasan inilah yang disebutkan oleh Allah dalam sumpah-Nya melalui firman-Nya:
Demi fajar dan malam-malam yang sepuluh. (89:1-2)
Sebagian ulama Salaf mengatakan, sesungguhnya hari-hari tersebut adalah hari-hari yang dimaksudkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam (lagi). (Al A'raf:142)
Di dalam kitab Sunan Imam Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan puasa di hari-hari sepuluh ini.
Hari-hari yang sepuluh ini mencakup hari Arafah yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Qatadah, bahwa:
Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai mengerjakan puasa di hari 'Arafah, maka beliau Saw. menjawab, "Saya menduga bahwa Allah akan menghapuskan dosa tahun yang silam dan tahun yang akan datang."
Sepuluh hari ini mencakup pula Hari Raya Kurban yang merupakan hari haji akbar. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan bahwa hari haji akbar itu adalah hari yang paling utama di sisi Allah.
Pada garis besarnya sepuluh hari ini dapat dikatakan hari-hari yang paling utama dalam satu tahunnya, sesuai dengan apa yang telah disebutkan di dalam hadis. Keutamaan sepuluh hari ini melebihi keutamaan sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, karena dalam sepuluh hari Zul Hijjah ini disyariatkan di dalamnya hal-hal yang juga disyariatkan di dalam sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, seperti salat, puasa, sedekah, dan lain-lainnya. Tetapi sepuluh hari Zul Hijjah ini mempunyai keistimewaan yang melebihinya, yaitu ibadah fardu haji dilakukan di dalamnya.
Menurut pendapat yang lain, sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan lebih utama, karena di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang nilainya lebih utama daripada seribu bulan.
Ulama lainnya berpendapat pertengahan. Mereka mengatakan bahwa hari-hari belasan Zul Hujah lebih utama, sedangkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadan lebih utama. Dengan demikian, pendapat ini menggabungkan semua dalil yang ada mengenai keduanya.
Pendapat yang kedua tentang hari-hari yang ditentukan. Al-Hakam telah meriwayatkan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas, bahwa hari-hari yang ditentukan adalah Hari Raya Kurban dan tiga hari sesudahnya. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui Ibnu Umar dan Ibrahim An-Nakha'i. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dalam suatu riwayat yang bersumber darinya.
Pendapat ketiga. Imam ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Madini, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajian, telah menceritakan kepadaku Nafi', bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan, "Hari-hari yang ditentukan dan hari-hari yang berbilang, jumlah keseluruhannya ada empat hari, yaitu hari-hari yang ditentukan ialah Hari Raya Kurban dan dua hari sesudahnya. Sedangkan hari-hari yang berbilang ialah tiga hari sesudah Hari Raya Kurban." Sanad riwayat ini berpredikat sahih bersumber darinya. As-Saddi mengatakan pendapat ini, dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Malik ibnu Anas.
Pendapat ini dan yang sebelumnya diperkuat oleh firman Allah Swt. yang mengatakan:
atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
Yakni saat menyembelihnya disebutkan nama Allah.
Pendapat yang keempat mengatakan, sesungguhnya hari-hari sepuluh itu ialah hari Arafah. Hari Raya Kurban, dan sehari sesudahnya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan ialah hari Arafah, Hari Raya Kurban, dan hari-hari Tasyriq.
Firman Allah Swt.:
atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
Yakni unta, sapi, dan kambing. Seperti yang telah dijelaskan di dalam tafsir surat Al-An'am, melalui firman-Nya:
(yaitu) delapan binatang yang berpasangan. (Al An'am:143), hingga akhir ayat.
Firman Allah Swt.:
Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa memakan hewan kurban hukumnya wajib. Akan tetapi, pendapat ini garib. Karena menurut kebanyakan ulama, perintah makan kurban ini termasuk ke dalam Bab "Rukhsah (Anjuran)." Seperti yang telah disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. setelah menyembelih unta kurbannya, beliau memerintahkan agar dari setiap unta yang disembelihnya diambil sepotong dagingnya, lalu beliau memasaknya dan memakannya serta meminum kuahnya.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah berkata kepadanya, "Aku suka makan daging hewan kurbanku." Alasannya ialah karena Allah Swt. telah berfirman:
Maka makanlah sebagian darinya.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa ia pernah menanyakan hal tersebut kepada Al-Lais, dan ternyata Al-Lais mengatakan hal yang sama dengan Malik.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka makanlah sebagian darinya.
Bahwa dahulu orang-orang musyrik tidak mau memakan sebagian dari hewan sembelihan mereka, kemudian hal tersebut diperbolehkan bagi kaum muslim. Karena itu barang siapa yang ingin memakannya, ia boleh memakannya, dan barang siapa yang tidak suka, boleh tidak memakannya. Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Mujahid dan Ata.
Hasyim telah meriwayatkan dari Husain, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
Maka makanlah sebagian darinya.
Bahwa ayat ini sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:
dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (Al Maidah:2)
Dan firman Allah Swt.:
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al Jumuah:10)
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya (yakni memakan daging hewan kurban itu boleh bagi orang yang mengorbankannya). Orang-orang yang berpendapat bahwa daging hewan kurban itu dibagi menjadi dua bagian —yang sebagian untuk si pemilik, sedangkan sebagian lainnya untuk disedekahkan—menguatkan pendapat ini dengan dalil firman Allah Swt.:
Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.
Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa daging kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga untuk yang punya, sepertiga lainnya untuk ia hadiahkan, dan sepertiga yang terakhir untuk disedekahkan, karena berdasarkan firman Allah Swt. dalam ayat lainnya yang mengatakan:
maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (Al Hajj:36)
Keterangan mengenainya akan dibahas pada tempatnya, yaitu saat menafsirkan ayat ini.
Firman Allah Swt.:
orang yang sengsara lagi fakir.
Ikrimah mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang yang terdesak oleh kebutuhan dan tampak pada dirinya tanda sengsara, keadaannya miskin, tetapi tidak mau meminta-minta demi menjaga kehormatan dirinya.
Menurut Mujahid, ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta.
Sedangkan Qatadah berpendapat bahwa makna yang dimaksud ialah orang yang menderita penyakit menahun.
Dan Muqatil mengatakan, maknanya yaitu orang yang tuna netra.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Supaya mereka mempersaksikan) yakni mendatangi (berbagai manfaat untuk mereka) dalam urusan dunia mereka melalui berdagang, atau urusan akhirat atau untuk keduanya. Sehubungan dengan masalah ini ada berbagai pendapat mengenainya (dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan) yakni tanggal sepuluh Zulhijah, atau hari Arafah, atau hari berkurban hingga akhir hari-hari Tasyriq; mengenai masalah ini pun ada beberapa pendapat (atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak) unta, sapi dan kambing yang disembelih pada hari raya kurban dan ternak-ternak yang disembelih sesudahnya sebagai kurban. (Maka makanlah sebagian daripadanya) jika kalian menyukainya (dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir) yakni sangat miskin.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Itu semua agar mereka mendapatkan keuntungan ukhrawi dari pelaksanaan ibadah haji dan keuntungan duniawi dengan saling berkenalan antara teman-teman seagama mereka dan membicarakan urusan-urusan dunia dan akhirat yang bermanfaat bagi mereka. Juga agar mereka menyebut asma Allah saat menyembelih unta, sapi atau kambing--tergantung kemampuan--pada hari raya kurban atau salah satu dari tiga hari tasyrik berikutnya. Makanlah setelah itu sekehendak hati kalian, dan berikanlah kepada siapa saja yang sedang menderita kesusahan dan kefakiran.