Al-Baqarah Ayat 179
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ ( البقرة: ١٧٩ )
Wa Lakum Fī Al-Qişāşi Ĥayāatun Yā 'Ūlī Al-'Albābi La`allakum Tattaqūna. (al-Baq̈arah 2:179)
Artinya:
Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa. (QS. [2] Al-Baqarah : 179)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Dan Allah menegaskan pada ayat ini bahwa di dalam kisas itu ada jaminan keberlangsungan kehidupan bagimu, wahai manusia. Sebab, jika seseorang menyadari kalau dia akan dibunuh apabila melakukan pembunuhan, maka dia akan memperhitungkan dengan sangat saksama ketika mau melakukan pembunuhan. Isyarat ayat ini ditujukan kepadamu, wahai orang-orang yang berakal yang mampu memahami hikmah adanya hukuman kisas dan memiliki pikiran yang bersih, agar kamu bertakwa, takut kepada Allah apabila melanggar ke-tentuan hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Pada ayat tersebut diberikan penjelasan tentang hikmah hukuman kisas, yaitu untuk mencapai keamanan dan ketenteraman. Karena dengan pelaksanaan hukum kisas, umat manusia tidak akan sewenang-wenang melakukan pembunuhan dengan memperturutkan hawa nafsunya saja, dan mendasarkan pembunuhan itu kepada perasaan bahwa dirinya lebih kuat, lebih kaya, lebih berkuasa dan sebagainya.
Tafsir al-Manar telah memberikan uraian panjang lebar tentang kebaikan hukuman kisas dan hukuman diat yang dibawa oleh Al-Qur'an; dengan memberikan bermacam-macam perbandingan tentang perundang-undangan, serta tingkah laku umat manusia, baik di timur maupun di barat, dan memberikan analisis beberapa pendapat para sarjana hukum. Tafsir al-Manar mengatakan: apabila kita memperhatikan syariat umat yang terdahulu, dan yang sekarang tentang hukuman yang ditetapkan dalam pembunuhan, maka kita melihat bahwa Al-Qur'an benar-benar berada digaris tengah yang sangat wajar. Karena hukuman yang diberikan kepada pembunuh pada periode jahiliah adalah selalu berdasarkan kepada kuat dan lemahnya suku. Seorang yang terbunuh dari suku yang kuat, sebagai balasan biasanya membunuh 10 orang dari pihak suku pembunuh yang lemah.
Tafsir al-Manar menambahkan, ".... Sebagian manusia (penjahat-penjahat), kalau hukuman pembunuh hanya ditetapkan sekadar masuk penjara beberapa tahun, mereka tidak akan jera, bahkan ada yang ingin masuk penjara untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan dengan cuma-cuma. Bagi orang seperti ini, tentulah yang paling baik hukumannya ialah kisas, dibunuh apabila ia membunuh orang lain. Tetapi kalau ahli waris yang terbunuh memberikan maaf, maka gugurlah hukuman kisas diganti dengan hukuman lain yaitu membayar diat (denda)." Demikian beberapa uraian ringkasan dari Tafsir al-Manar.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian.
Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.
Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya:
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian.
Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian, karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Firman Allah Swt.:
hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.
Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Dan bagimu dalam kisas itu terdapat kehidupan) artinya terjaminnya kelangsungan hidup manusia (hai orang-orang yang berakal) karena jika seseorang yang akan membunuh itu mengetahui bahwa ia akan dibunuh pula, maka ia akan merasa takut lalu mengurungkan rencananya sehingga berarti ia telah memelihara nyawanya dan nyawa orang yang akan dibunuhnya tadi. Disyariatkan oleh Allah Taala (supaya kamu bertakwa) artinya menjaga dirimu dari membunuh, agar terhindar dari kisas.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Sesungguhnya rahmat Allah atas kalian sangat besar dalam perundangan hukum kisas itu, yaitu terjaminnya kehidupan yang aman dan tenteram. Karena apabila seseorang yang berniat untuk membunuh menyadari risiko kebinasaan diri sendiri dalam perbuatan itu, maka ia akan mengurungkan niatnya. Tindak pencegahan yang terkandung dalam hukum kisas itulah yang menjamin kelanggengan hidup seorang yang hendak melakukan tindak pembunuhan di satu pihak, dan orang yang akan menjadi korban di pihak lain. Dan apabila seorang petinggi kaum dikisas sebagai ganti dari seorang rakyat jelata yang membunuh, orang yang tidak bersalah dihukum karena kejahatan yang dilakukan orang lain, sebagaimana terjadi pada masa jahiliah, maka hal ini akan menjadi pemicu fitnah dan ketimpangan sistem sebuah masyarakat. Maka orang-orang yang berakal akan menerima hukum kisas ini sebab di dalam hukum itu mereka dapat merasakan kasih sayang Allah yang mendorong mereka ke jalan ketakwaan dan menepati perintah-Nya.
6 Tafsir as-Saadi
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang mer-deka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan
dalam qishash itu ada (ja-minan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 178-179).
(178) Allah تعالى memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya yang beriman
dengan mewajibkan atas mereka menegakkan ﴾ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ﴿ "qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh," yakni memberikan hukuman yang sama, di mana pelaku pembu-nuhan dibunuh dengan model pembunuhan yang ia lakukan ter-hadap orang yang dibunuhnya, sebagai penegakan keadilan dan kesetaraan antara manusia. Diarahkannya kalimat ini kepada kaum Muslimin secara umum adalah dalil yang menunjukkan bahwa hal itu wajib atas mereka semua -hingga keluarga pelaku pembunuhan atau bahkan hingga pelaku pembunuhan itu sendiri- sebagai bentuk pertolongan bagi keluarga orang yang terbunuh apabila mereka memilih qishash dan memungkinkannya menuntut hal tersebut dari pihak pelaku tersebut, dan tidak dibolehkan bagi mereka untuk merubah hukum tersebut dan menghalangi keluarganya dalam memilih hukum qishash sebagaimana kebiasaan orang-orang jahi-liyah atau orang-orang yang semisalnya dari orang-orang yang melindungi pelaku kezhaliman.
Kemudian Allah menjelaskan rincian hal tersebut seraya ber-firman, ﴾ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ ﴿ "Orang merdeka dengan orang merdeka." Menurut makna lafazhnya, termasuk di dalamnya adalah laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, perempuan dengan laki-laki, dan laki-laki dengan perempuan. Maka makna tersurat dari lafazhnya itu lebih didahulukan daripada makna yang terpahami dari FirmanNya, ﴾
وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ ﴿ "dan perempuan dengan perempuan," disertai dengan adanya dalil dari as-Sunnah, yaitu bahwa laki-laki juga dibunuh dengan perempuan. Namun kedua orang tua dan seterusnya ke atas tidak termasuk dalam makna yang umum ini, artinya bahwa mereka tidak dibunuh karena membunuh anak, di-sebabkan adanya as-Sunnah yang menjelaskan akan hal tersebut.[6] Padahal dalam FirmanNya, ﴾ ٱلۡقِصَاصُ ﴿ "Hukum qishash," terkandung apa yang menunjukkan bahwa bukanlah suatu keadilan jika se-orang ayah dibunuh karena membunuh anaknya, dan karena dalam hati seorang ayah ada rasa kasih sayang dan rahmat (yang begitu kuat) yang akan menghalanginya dari tindakan membunuh anak-nya sendiri kecuali dengan sebab adanya gangguan pada akalnya atau kedurhakaan yang besar dari anaknya terhadap dirinya. Dan termasuk yang tidak terkait dalam keumuman tersebut adalah seorang kafir, berdasarkan dalil dari as-Sunnah, padahal ayat ini diarahkan khusus untuk kaum Mukminin. Dan juga bukanlah suatu keadilan bila seorang wali Allah dibunuh karena membunuh seorang musuh Allah.
﴾ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ ﴿ "Dan hamba dengan hamba," perempuan ataupun laki-laki, yang sama maupun berbeda kadar harganya. Ayat ini menurut pemahaman terbaliknya menunjukkan bahwa seorang yang merdeka tidak dibunuh karena membunuh hamba, karena tidak sama derajatnya. ﴾
وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ ﴿ "Dan wanita dengan wanita." Sebagian ulama mengambil dari pemahaman terbaliknya adalah bahwa laki-laki tidak dibunuh karena membunuh perempuan, dan hal ini telah dibahas sebelumnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum qishash adalah wajib dalam masalah pembunuhan, dan bahwa membayar diyat itu adalah sebagai penggantinya. Oleh karena itu Allah ber-firman, ﴾
فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ ﴿ "Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya," maksudnya, keluarga orang yang terbu-nuh memaafkan pembunuhnya untuk diganti dengan membayar diyat saja atau sebagian keluarga terbunuh memaafkan, maka gugurlah hukum qishash dan wajiblah hukum membayar diyat atas si pembunuh. Penentuan pilihan pada tuntutan qishash dan pilihan membayar diyat, kembali kepada wali yang terbunuh. Apabila dia memaafkan pembunuhnya, maka wajiblah atas wali itu hukum tersebut, yakni wali si terbunuh, untuk mengikuti (kesanggupan) si pembunuh ﴾ بِٱلۡمَعۡرُوفِ ﴿ "dengan cara yang baik," tanpa memberatkan-nya dan membebaninya dengan suatu yang tidak mampu dipikul-nya, akan tetapi hendaknya ia menuntut dan meminta dengan baik serta tidak menyusahkannya, dan hendaklah si pembunuh juga ﴾
وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ﴿ "membayar diyat kepada yang memaafkan dengan cara yang baik (pula)," dengan tidak menunda-nunda, tidak kurang dan tidak berbuat kejelekan, baik perkataan maupun perbuatan. Dan tidak ada balasan kebaikan dengan pemaafan itu, kecuali kebaikan (pula) dengan menunaikannya dengan baik.
Ini sangat diperintahkan dalam segala hal yang bersangkutan dengan hak-hak manusia, yaitu seseorang yang memiliki hak dipe-rintahkan untuk menuntut dengan cara yang baik, dan orang yang diwajibkan untuk menunaikan hak orang lain, juga harus menunai-kannya dengan cara yang baik pula. Dan dalam FirmanNya,﴾
فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ ﴿ "Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya," terkandung sikap kelembutan hati dan anjuran kepada tindakan memaafkan dengan berpindah kepada mengambil bayaran diyat, dan tentunya yang lebih baik dari itu adalah tindakan me-maafkan tanpa bayaran.
Dalam FirmanNya, ﴾ أَخِيهِ ﴿ "Saudaranya," terkandung dalil yang menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan itu bukanlah kafir, karena yang dimaksud dengan persaudaraan di sini adalah per-saudaraan dengan ikatan keimanan, dan dia tidak akan dikatakan terlepas dari ikatan itu dengan pembunuhan tersebut, maka lebih patut lagi hal seperti itu berlaku pada masalah kemaksiatan yang tidak menyebabkan kekufuran, pelakunya tidaklah dikafirkan karena melakukan kemaksiatan tersebut, hanya saja keimanannya berkurang. Apabila keluarga orang yang terbunuh atau sebagian dari mereka memaafkan, maka darah pembunuhnya haram ditum-pahkan oleh mereka maupun oleh selain mereka. Oleh karena itu Allah تعالى berfirman, ﴾
فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ ﴿ "Barangsiapa yang melampaui batas setelah itu," yakni, setelah adanya pemaafan, ﴾
فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٞ ﴿ "maka baginya siksa yang pedih," maksudnya, di akhirat. Adapun
membunuhnya ataupun tidak membunuhnya, maka diambil dari yang sebelumnya karena ia telah
membunuh yang sederajat de-ngannya, maka ia pun harus dibunuh karenanya. Adapun orang yang
menafsirkan siksa yang pedih itu dengan membunuh dan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya
membunuh si pembunuh serta tidak bolehnya dimaafkan, maka pendapat seperti ini telah dikatakan
oleh sebagian ulama, tetapi yang lebih benar adalah yang pertama, karena pelanggarannya tidak
lebih dari pelanggaran yang lainnya.
Kemudian Allah تعالى menjelaskan hikmah yang agung dari syariat hukum qishash seraya berfirman,
(179) ﴾ وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ ﴿ "Dan dalam qishash itu ada kelangsung-an hidup bagimu," maksudnya, dengan hukum itu terjagalah darah dan terkendalilah orang-orang yang jahat, karena barangsiapa yang mengetahui bahwasanya dia akan dibunuh apabila dia membunuh, niscaya tidak akan terbesit darinya tindakan pembunuhan, dan apabila seorang pembunuh disaksikan dibunuh, niscaya orang lain akan merasa takut dan tercegah dengan hal itu. Seandainya saja hukuman bagi seorang pembunuh bukan hukuman mati, pastilah kejahatan itu tidak akan mampu dicegah sebagaimana dengan pencegahan yang mampu dilakukan oleh hukuman mati. Dan seperti itulah seluruh hukum-hukum had syariat yang mengandung pemaksaan dan pencegahan sebagai hal yang menunjukkan hikmah dari Dzat yang Mahabijaksana lagi Maha Pengampun.
Kata ﴾ حَيَوٰةٞ ﴿ "kelangsungan hidup" dinyatakan dalam bentuk kata benda tidak tertentu (nakirah), maksudnya adalah untuk peng-agungan dan mencakup secara luas, dan ketika hukum ini tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh para cendekiawan dan ulama, maka Allah menghadapkan perkataanNya secara khusus kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa Allah تعالى sangat suka apabila hamba-hambaNya mau memakai akalnya dan pemikirannya untuk merenungi hikmah-hikmah di balik hukum-hukumNya dan kemas-lahatan-kemaslahatan yang menunjukkan kesempurnaan, hikmah, pujian, keadilan dan rahmatNya yang luas. Dan barangsiapa yang berkedudukan seperti itu, sesungguhnya dia telah berhak menda-patkan pujian bahwasanya dia termasuk dari orang-orang berakal yang perkataan itu dihadapkan kepada mereka dan diseru oleh Tuhan dari segala yang dituhankan. Dan cukuplah dengan itu se-bagai kemuliaan dan kehormatan bagi orang-orang yang berpikir.
Dan FirmanNya, ﴾ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ﴿ "Agar kamu bertakwa," hal itu karena barangsiapa yang mengenal Rabbnya
dan mengetahui apa yang tersimpan di balik agama dan syariatNya dari rahasia-rahasia yang agung,
hikmah-hikmah yang indah dan ayat-ayat yang luhur, maka pastilah dengan hal itu dia tunduk
kepada perintah Allah, dia menganggap besar kemaksiatan kepadaNya hingga dia me-ninggalkannya,
dan akhirnya dia berhak menjadi salah seorang di antara orang-orang yang bertakwa.