Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang bulan sabit. Maka turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia."
Yakni dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka.
Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadis kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al Baqarah:189) Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ata, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Abdur Razzaq meriwayatkan, dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Maka apabila awan menutupi kalian, sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.
Hadis riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Ibnu Abu Rawwad dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim mengatakan bahwa Ibnu Abu Rawwad adalah orang yang siqah, ahli ibadah, seorang mujtahid lagi bernasab terhormat. Maka hadis ini sahih sanadnya, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
Muhammad ibnu Jabir meriwayatkan dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah menciptakan bulan sabit. Maka apabila kalian melihat bulan sabit, berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya lagi, berbukalah. Tetapi jika awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan kalian menjadi tiga puluh hari.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Abu Hurairah, juga dari ucapan Ali ibnu Abu Talib r.a.
Firman Allah Swt:
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa pada mulanya di zaman Jahiliah apabila mereka telah melakukan ihram, mereka memasuki rumahnya dari arah belakangnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar pada mulanya bila mereka tiba dari perjalanannya, maka seseorang dari mereka tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, lalu turunlah ayat ini.
Al-A'masy menceritakan dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa dahulu orang-orang Quraisy dikenal dengan nama Humus, mereka selalu masuk dari pintu-pintunya dalam ihram mereka, sedangkan orang-orang Ansar dan semua orang Arab dalam ihram mereka tidak memasukinya dari pintu. Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di sebuah kebun, selanjutnya beliau keluar dari pintunya, tetapi keluar pula bersamanya Qutbah ibnu Amir dari kalangan Ansar. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah seorang pedagang, sesungguhnya dia telah keluar bersamamu dari pintu itu." Maka Rasul Saw. bertanya kepada Qutbah, "Apakah yang mendorongmu melakukan demikian?" Qutbah menjawab, "Aku melihat engkau melakukannya, maka aku ikut melakukan seperti apa yang telah engkau lakukan." Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang Ahmas." Qutbah menjawab, "Sesungguhnya agamaku juga adalah agamamu." Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, juga Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Az-Zuhri, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, dahulu beberapa kaum dari kalangan ahli Jahiliah apabila seseorang dari mereka hendak melakukan suatu perjalanan, lalu ia keluar dari rumahnya memulai perjalanan yang ditujunya. Kemudian sesudah ia keluar, timbul keinginan tetap tinggal dan mengurungkan niat bepergiannya, maka dia tidak memasuki rumahnya dari pintunya, melainkan menaiki tembok bagian belakang. Lalu Allah Swt. berfirman:
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya., hingga akhir ayat.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Seorang lelaki apabila hendak melakukan i'tikaf, ia tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, maka Allah menurunkan ayat ini."
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa penduduk Yasrib apabila kembali dari hari raya mereka, mereka memasuki rumahnya masing-masing dari arah belakangnya, dan mereka berpendapat bahwa hal tersebut lebih mendekati kepada kebajikan. Maka Allah Swt. berfirman:
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya.
Akhirnya mereka tidak lagi berpendapat bahwa hal tersebut lebih dekat kepada kebajikan.
Firman Allah Swt.:
Dan bertakwalah kalian kepada Allah, agar kalian beruntung.
Yakni kerjakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan tinggalkanlah oleh kalian apa yang telah diharamkan Allah bagi kalian.
...agar kalian beruntung.
Yaitu kelak di hari kemudian. Bila kalian dihadirkan di hadapan Allah, maka kelak Dia akan memberi kalian pahala dan balasannya dengan lengkap dan sempurna.