Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, dari Umar yang menceritakan hadis berikut: Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan, Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Maka turunlah firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar."
Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat ini. Maka ia mengatakan, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Kemudian turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An Nisaa:43). Tersebutlah bahwa juru azan Rasulullah Saw. apabila mendirikan salat selalu menyerukan, "Orang yang mabuk tidak boleh mendekati salat!" Kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Maka Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang lebih memuaskan lagi." Lalu turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah. Ketika bacaan ayat sampai pada firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al Maidah:91) maka Umar berkata, "Kami telah berhenti, kami telah berhenti."
Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Israil, dari Abu Ishaq.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui jalur As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil AI-Hamdani Al-Kufi, dari Umar. Amr ibnu Syurahbil tidak mempunyai hadis lain yang dari Umar selain hadis ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abu Zar'ah disebutkan bahwa Amr ibnu Syurahbil belum pernah mendengar dari Umar.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadis ini baik lagi sahih, dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, sedangkan dalam riwayat Ibnu Abu Hatim disebutkan sesudah perkataan Umar, "Kami telah berhenti," yaitu "Sesungguhnya khamr itu melenyapkan harta dan menghilangkan akal."
Hadis ini diketengahkan lagi beserta hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Abu Hurairah pada tafsir firman-Nya dalam surat Al-Maidah, yaitu:
Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al Maidah:90)
Firman Allah Swt.:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Definisi khamr ialah seperti apa yang dikatakan oleh Amirul Muminin Umar ibnul Khattab, yaitu segala sesuatu yang menutupi akal (memabukkan), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir surat Al-Maidah. Demikian pula maisir, yakni judi.
Firman Allah Swt.:
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia'"
Adapun mengenai dosa kedua perbuatan tersebut berdasarkan peraturan agama, sedangkan manfaat keduniawiannya jika dipandang sebagai suatu manfaat. Maka manfaatnya terhadap tubuh ialah mencernakan makanan, mengeluarkan angin, dan mengumpulkan sebagian lemak serta rasa mabuk yang memusingkan, seperti apa yang dikatakan oleh Hassan ibnu Sabit dalam masa Jahiliah:
Kami meminumnya (khamr) dan khamr membuat kami bagaikan raja-raja dan juga bagaikan harimau yang tidak kuat perang (yakni menjadi pemberani).
Termasuk manfaatnya pula memperjual-belikannya dan memanfaatkan hasilnya. Sedangkan manfaat judi ialah kemenangan yang dihasilkan oleh sebagian orang yang terlibat di dalamnya, maka dari hasil itu ia dapat membelanjakannya buat dirinya sendiri dan keluarganya.
Akan tetapi, manfaat dan maslahat tersebut tidaklah sebanding dengan mudarat dan kerusakannya yang jauh lebih besar daripada manfaatnya, karena kerusakannya berkaitan dengan akal dan agama, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
...tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.
Karena itu, ayat ini merupakan pendahuluan dari pengharaman khamr yang pasti. Di dalam ayat ini pengharaman tidak disebutkan dengan tegas, melainkan dengan cara sindiran. Karena itulah maka Umar ibnul Khattab r.a. ketika dibacakan ayat ini kepadanya mengatakan: Ya Allah, berikanlah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.
Setelah itu barulah turun ayat yang mengharamkannya di dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingati Allah dan salat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al Maidah:90-91)
Dalam tafsir surat Al-Maidah nanti, masalah ini akan diterangkan dengan keterangan yang rinci.
Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sesungguhnya ayat ini merupakan permulaan ayat yang menerangkan pengharaman khamr, yaitu firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al Baqarah:219) Kemudian turun pula ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, sesudah itu turun ayat yang terdapat di dalam surat Al-Maidah yang mengharamkan khamr secara tegas.
Firman Allah Swt.:
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan."
Lafaz al-'afwa dapat pula dibaca al-'afwu, keduanya baik dan berdekatan pengertiannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah sampai suatu hadis kepadanya bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Sa'labah datang menghadap Rasulullah Saw., lalu keduanya bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai banyak budak dan keluarganya yang semuanya itu termasuk harta kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Al-Hakam mengatakan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan."
Yakni lebihan dari nafkah yang diperlukan.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari. Ibnu Umar, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qata-dah, Al-Qasim, Salim, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. Disebutkan bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al Baqarah:219) Lafaz al-'afwa di sini artinya al-fadla atau lebihan (sisa dari yang diperlukan).
Telah diriwayatkan dari Tawus bahwa makna yang dimaksud ialah segala sesuatu yang mudah.
Dari Ar-Rabi' disebutkan pula bahwa makna yang dimaksud ialah hartamu yang paling utama dan paling baik. Akan tetapi, semua pendapat merujuk kepada pengertian lebihan dari apa yang diperlukan.
Abdu ibnu Humaid mengatakan dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Hauzah ibnu Khalifah, dari Auf, dari Al-Hasan sehubungan dengan ayat berikut: Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al Baqarah:219) Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-'afwa ialah jangan sampai nafkah itu memberatkan hartamu yang akhirnya kamu tidak punya apa-apa lagi dan meminta-minta kepada orang lain.
Pengertian ini ditunjukkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ibnu Ajlan, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai uang dinar.'" Nabi Saw. menjawab, "Belanjakanlah buat dirimu sendiri." Lelaki itu berkata, "Aku masih memiliki yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat keluargamu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat anakmu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. menjawab, "Kamu lebih mengetahui."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahih-nya.
Dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui Jabir r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki:
Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuknya, jika ada lebihannya, maka buat keluarga (istri)mu. Dan jika masih ada lebihannya lagi setelah istrimu, maka berikanlah kepada kaum kerabatmu, dan jika masih ada lebihan lagi setelah kaum kerabatmu, maka berikanlah kepada ini dan itu.
Menurut Imam Muslim pula, disebutkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan setelah berkecukupan, tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dan mulailah dengan orang yang berada dalam tanggunganmu.
Di dalam sebuah hadis lain disebutkan pula:
Hai anakAdam, sesungguhnya jikalau kamu memberikan lebihan dari yang diperlukan adalah lebih baik bagimu dan jika kamu memegangnya, maka hal itu buruk bagimu, dan kamu tidak akan dicela karena tidak mempunyai sesuatu yang bersisa.
Akan tetapi, menurut pendapat yang lain ayat ini di-mansukh oleh ayat zakat, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, Al-Aufi, dan Ibnu Abbas, juga yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani. Menurut pendapat yang lainnya lagi, ayat ini diperjelas pengertiannya oleh ayat zakat, menurut Mujahid dan lain-lainnya. Pendapat yang terakhir ini lebih terarah (kuat).