An-Nisa' Ayat 21
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا ( النساء: ٢١ )
Wa Kayfa Ta'khudhūnahu Wa Qad 'Afđaá Ba`đukum 'Ilaá Ba`đin Wa 'Akhadhna Minkum Mīthāqāan Ghalīžāan. (an-Nisāʾ 4:21)
Artinya:
Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (QS. [4] An-Nisa' : 21)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Dan lantas bagaimana mungkin kamu akan mengambilnya kembali, yakni mahar atau pemberian yang telah kamu berikan kepada mereka, dengan cara paksa dan sewenang-wenang, padahal kamu telah bergaul satu sama lain sebagai suami-istri dengan menyalurkan hasrat biologis bersamanya? Dan mereka telah mengambil perjanjian yang kuat dalam ikatan perkawinan sehingga menjadi pasangan istri dari kamu, ikatan perkawinan tersebut merupakan ikatan suci yang harus dijaga sehingga siapa saja yang memutus ikatan suci itu mendapat murka Allah. Nabi berpesan," Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah."
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Bagaimana mungkin suami akan mengambil kembali harta tersebut karena perpisahan itu semata-mata memperturutkan hawa nafsunya belaka, bukan untuk menurut aturan-aturan yang digariskan Allah, sedangkan antara suami istri telah terjalin suatu ikatan yang kukuh, telah bergaul sebagai suami istri sekian lamanya dan tak ada pula kesalahan yang diperbuat oleh istri. Di samping itu, istri telah pula menjalankan tugasnya dan memberikan hak-hak suami dengan baik dan telah lama pula ia mendampingi suami dengan segala suka dukanya. Jadi tidaklah ada alasan bagi suami untuk menuntut yang bukan-bukan dari harta yang telah diberikan kepada istrinya itu.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah SWT:
Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Sa'id ibnu Jubair, bahwa yang dimaksud dengan misaq atau perjanjian ialah akad nikah.
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firnun-Nya:
Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.
Yang dimaksud dengan mislaqan galizan ialah memegang dengan cara yang patut atau melepaskan dengan cara yang baik.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid. Abul Aliyah. Al-Hasan, Qatadah, Yahya ibnu Abu Kasir, Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud ialah kalian telah menjadikan mereka istri-istri kalian dengan amanat dari Allah dan kalian telah menghalalkan farji mereka dengan menyebut kalimah Allah. Karena sesungguhnya kalimah Allah itu adalah membaca syahadat dalam khotbah nikah.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Jabir tentang khotbah haji wada’, bahwa Nabi Saw. di dalamnya antara lain mengatakan:
Berwasiatlah kalian dengan kebaikan sehubungan dengan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil (memperistri) mereka dengan amanat dari Allah dan kalian halalkan farji mereka dengan menyebut kalimah Allah.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali) artinya dengan alasan apa (padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain) atau telah berhubungan sebagai suami istri dengan bercampur yang telah mensahkan maskawin (dan mereka telah mengambil daripadamu perjanjian) atau pengakuan (yang erat) atau berat, yakni berupa perintah Ilahi agar memegang mereka secara baik-baik atau melepas mereka secara baik-baik pula.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Bagaimana kalian sampai hati mengambil kembali mahar yang telah kalian berikan, padahal kalian telah saling bergaul sebagai suami istri, dan istri-istri kalian telah berjanji dengan teguh dan secara sah untuk menjadi pasangan suami yang baik.
6 Tafsir as-Saadi
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mem-pusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyu-sahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai se-suatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, se-dang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menang-gung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri? Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." (An-Nisa`: 19-21).
(19) Pada zaman jahiliyah, bila salah seorang di antara mereka meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri, nis-caya karib-kerabatnya seperti saudara laki-lakinya, anak laki-laki pamannya atau semisalnya memandang bahwa dialah yang paling berhak atas diri istri mayit tersebut dari siapa pun, dan melindu-nginya dari selain dirinya, baik ia suka maupun tidak, dan bila ia menyukai istri mayit tersebut, maka akan dinikahinya dengan mahar yang dikehendakinya tanpa persetujuan wanita tersebut, namun bila ia tidak menyukainya, ia akan menjauhinya dan tidak akan ia kawinkan kecuali dengan seseorang yang menjadi pilihan-nya sendiri, atau bahkan ia tidak akan mengawinkannya hingga ia diberi oleh wanita itu beberapa harta dari warisan karibnya yang meninggal tadi atau dari maharnya, dan seorang laki-laki juga akan menjauhi istrinya yang ia benci agar ia dapat pergi dengan sebagian harta yang telah ia berikan kepada istrinya tersebut.
Allah سبحانه وتعالى kemudian melarang kaum Muslimin dari melakukan hal-hal seperti itu kecuali dalam dua kondisi; apabila ia rela dan memilih untuk menikah dengan kerabat suaminya yang pertama sebagaimana pemahaman terbalik, (Mafhum Mukhalafah) dari Fir-manNya, ﴾ كَرۡهٗاۖ ﴿ "Dengan jalan paksa." Dan bila mereka melakukan kekejian yang nyata seperti perzinaan, perkataan yang keji dan perlakuan buruk terhadap suaminya, maka dalam kondisi seperti ini boleh baginya menyusahkan wanita tersebut sebagai suatu hukuman baginya karena perbuatannya tersebut, dan agar ia me-nebus kesalahan dirinya, tetapi dengan syarat tindakan menyusah-kan istri tersebut dilakukan secara adil.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ ﴿ "Dan bergaullah dengan mereka secara patut," hal ini mencakup pergaulan dengan perkataan maupun perbuatan, karena itu suami wajib menggauli istrinya dengan baik, berupa hubungan yang baik, mencegah ada-nya gangguan, memberikan kebaikan, dan ramah dalam bermua-malah, dan termasuk dalam hal itu juga adalah memberi nafkah serta pakaian dan semacamnya. Suami wajib memberikan kebu-tuhan istri sesuai standar (istri semisalnya) yang disesuaikan dengan kemampuan suami pada masa dan tempat tersebut, dan hal ini tentunya akan berbeda sesuai dengan perbedaan kondisinya.
﴾ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ﴿ "Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak," maksudnya, seyogyanya bagi kalian wahai para suami untuk tetap bersama istri-istri kalian walaupun kalian membenci mereka, karena dalam hal tersebut tersimpan kebaikan yang banyak, dan di antara kebaikan itu adalah pelaksanaan perintah Allah dan menerima wasiatNya, di mana dalam hal itu menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Di samping itu pemaksaan dirinya untuk bertahan padahal ia membencinya adalah sebuah perjuangan melawan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan akhlak yang luhur, dan mungkin saja kebencian itu akan lenyap dan akan diganti dengan kecintaan sebagaimana yang nyata terjadi, dan mungkin juga darinya ia akan diberikan rizki yaitu anak yang shalih yang berguna bagi kedua orang tuanya di dunia dan akhirat.
(20) Ini semua dengan kondisi yang memungkinkan bagi-nya untuk tetap bersama dan tidak adanya perkara yang diharam-kan, namun bila harus berpisah dan tidak mungkin untuk bersama lagi, maka tidaklah wajib untuk bertahan bersama, akan tetapi ketika ﴾ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ مَّكَانَ زَوۡجٖ ﴿ "kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain," yaitu mentalak seorang istri dan menikahi wanita yang lain, artinya tidak ada dosa bagi kalian dalam hal ter-sebut dan tidak ada salahnya, akan tetapi bila ﴾ وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ ﴿ "telah memberikan kepada seseorang di antara mereka," yaitu yang kalian talak atau yang kalian nikahi, ﴾ قِنطَارٗا ﴿ "harta yang banyak," yaitu harta yang banyak, ﴾ فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡـًٔاۚ ﴿ "maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun," akan tetapi kalian harus membiarkan itu semua untuknya dan janganlah kalian mengung-kit-ungkitnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa tidaklah haram memberikan mahar yang besar, walaupun sesungguhnya lebih baik dan lebih utama adalah mencontoh Nabi ﷺ dalam meringankan mahar. Dan hal itu dapat dipahami dari ayat ini bahwa Allah mengabarkan tentang suatu perkara yang terjadi pada mereka namun tidak mengingkari mereka akan hal tersebut, dengan demikian hal itu menunjukkan bahwa perkara tersebut tidaklah haram hukumnya.
Akan tetapi mahar yang besar dapat saja dilarang apabila mengandung kemudharatan dalam agama dan tidak ada maslahat yang sepadan, kemudian Allah berfirman, ﴾ أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا ﴿ "Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" Karena sesung-guhnya hal tersebut tidaklah halal, walaupun kalian melakukan tipu daya dengan berbagai trik; sesungguhnya dosanya telah jelas.
(21) Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى telah menjelaskan hikmah akan hal tersebut dengan FirmanNya,﴾ وَكَيۡفَ تَأۡخُذُونَهُۥ وَقَدۡ أَفۡضَىٰ بَعۡضُكُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ وَأَخَذۡنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظٗا ﴿ "Bagaimana kamu akan mengambilnya kem-bali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." Penjelasannya adalah bahwa istri sebelum akad nikah adalah haram bagi suami, dan tidaklah ia merelakan dirinya agar halal baginya kecuali dengan mahar tersebut yang telah diberikan suami kepadanya, dan bila ia telah bercampur dengannya, menggaulinya dan menyentuhnya dengan sentuhan yang awalnya adalah haram sebelum itu dan tidaklah ia mau menyerahkannya kecuali dengan kompensasi, sesungguhnya ia telah merenggut hal yang harus diberi kompensasi, maka wajiblah atasnya memberikan kompensasi tersebut, lalu bagaimana mungkin ia mengambil hal yang harus diberikan kompensasi kemudian setelah itu ia mau menarik kembali kompensasi itu darinya? Inilah kezhaliman dan kesewenang-wenangan yang paling besar, Allah juga telah mengambil perjanjian yang kuat dari para suami dengan adanya akad dan (perintah untuk) memenuhi hak-hak istrinya, kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman,