Al-Mujadalah Ayat 4
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًاۗ ذٰلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ( المجادلة: ٤ )
Faman Lam Yajid Faşiyāmu Shahrayni Mutatābi`ayni Min Qabli 'An Yatamāssā Faman Lam Yastaţi` Fa'iţ`āmu Sittīna Miskīnāan Dhālika Litu'uminū Billāhi Wa Rasūlihi Wa Tilka Ĥudūdu Allāhi Wa Lilkāfirīna `Adhābun 'Alīmun. (al-Mujādilah 58:4)
Artinya:
Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih. (QS. [58] Al-Mujadalah : 4)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Maka barang siapa yang tidak menemukan, tidak memiliki uang untuk memerdekakan hamba sahaya karena harganya mahal, maka dia wajib membayar kafarat zihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur kembali. Barang siapa tidak mampu, membayar kafarat zihar dengan berpuasa dua bulan berturut-turut, maka ia wajib membayar kafarat zihar dengan memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah, Allah menjelaskan hukum zihar dan kafarat-nya agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan benar-benar berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunah-Nya dan itulah hukum-hukum Allah tentang zihar dan kafarat-kafaratnya; dan Allah memperingatkan bahwa bagi orang-orang yang mengingkarinya, yakni hukum zihar, akan mendapat azab yang sangat pedih di akhirat, karena mengatakan yang bukan-bukan, mengharamkan menggauli istri yang dihalalkan Allah.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Pada ayat-ayat ini diterangkan syarat-syarat bagi suami-istri agar dapat bercampur atau melaksanakan perkawinan kembali jika mereka telah bercerai, yaitu pihak suami wajib membayar kafarat. Kewajiban membayar kafarat itu disebabkan telah terjadinya zihar dan adanya kehendak suami mencampuri istrinya ('aud).
Dalam ayat ini diterangkan tiga tahap kafarat zihar. Tahap pertama harus diupayakan melaksanakannya. Kalau tahap pertama tidak sanggup dilaksanakan, boleh menjalankan tahap kedua. Bila tahap kedua juga tidak sanggup melaksanakannya, wajib dijalankan tahap ketiga. Tahap-tahap itu ialah:
1.Memerdekakan seorang budak sebelum melaksanakan persetubuhan kembali. Ini adalah ketetapan Allah yang ditetapkan bagi seluruh orang yang beriman, agar mereka berhati-hati terhadap perbuatan mungkar dan membayar kafarat itu sebagai penghapus dosa perbuatan mungkar. Allah memperhatikan dan mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, dan akan mengampuni semua hamba-Nya yang mau menghentikan perbuatan mungkar dan melaksanakan hukum-hukum Allah. Pada saat ini perbudakan telah hapus dari permukaan bumi, karena itu kafarat tingkat pertama ini tidak mungkin dilaksanakan lagi. Memerdekakan budak sebagai kafarat, termasuk salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yang pernah membudaya di kalangan bangsa-bangsa di dunia, seperti yang terjadi di Amerika, Eropa, dan lain-lain. Oleh karena itu, agama Islam adalah agama yang berusaha menghapus perbudakan dan menetapkan cara-cara untuk melenyapkannya dengan segera.
2.Jika yang pertama tidak dapat dilakukan, hendaklah puasa dua bulan berturut-turut. Berturut-turut merupakan salah satu syarat dari puasa yang akan dilakukan itu. Hal ini berarti jika ada hari-hari puasa yang tidak terlaksana seperti puasa sehari atau lebih kemudian tidak puasa pada hari yang lain dalam masa dua bulan itu, maka puasa itu tidak dapat dijadikan kafarat, walaupun tidak berpuasa itu disebabkan perjalanan jauh (safar) atau sakit. Puasa itu harus dilakukan sebelum melakukan persetubuhan suami istri.
3.Jika yang kedua tidak juga dapat dilaksanakan, maka dilakukan tahap ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
Zihar adalah semacam sumpah, yaitu sumpah suami yang menyatakan bahwa istrinya haram dicampuri seperti haramnya mencampuri ibunya. Oleh karena itu, yang wajib membayar kafarat ialah suami yang melakukan zihar saja, karena dialah yang bersumpah, sedang istri yang tidak pernah melakukan zihar tidak wajib membayar kafarat.
Jumlah atau bentuk kafarat zihar yang ditetapkan itu adalah jumlah atau bentuk yang sangat tinggi, apalagi jika diingat bahwa hukum itu berlaku bagi seluruh kaum Muslimin, baik yang kaya atau yang miskin. Bagi seorang yang kaya tidak ada kesulitan membayar kafarat itu, tetapi merupakan hal yang sulit dan berat membayarnya bagi orang-orang miskin.
Menghadapi masalah yang seperti ini, syariat Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat meringankan suatu beban yang dipikulkan Allah kepada kaum Muslimin, yaitu prinsip, "Kesukaran itu menimbulkan kemudahan," asal saja kesukaran itu benar-benar suatu kesukaran yang tidak dapat diatasi, disertai dengan keinginan di dalam hati untuk mencari keridaan Allah.
Sehubungan dengan ini, pada kelanjutan hadis Khuwailah binti Malik yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dikatakan:
Maka Rasulullah saw berkata, "Hendaklah ia memerdekakan seorang budak." Khaulah berkata, "Ia tidak sanggup mengusahakannya." Nabi berkata, "(Kalau demikian) maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut." Khaulah berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (suamiku) adalah seorang yang telah tua bangka, tidak sanggup lagi berpuasa." Nabi berkata, "Maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin." Khaulah berkata, "Ia tidak mempunyai sesuatu pun yang akan disedekahkannya." Rasulullah saw Berkata, "(Kalau demikian) maka sesungguhnya aku akan membantunya dengan segantang tamar." Khaulah berkata, "Dan aku akan membantunya pula dengan segantang tamar." Berkata Rasulullah saw, "Engkau benar-benar baik, pergilah, maka beritahukanlah atas namanya, beri makanlah dengan tamar ini enam puluh orang fakir-miskin." (Riwayat Abu Dawud)
Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Khaulah mengatakan kepada Rasulullah saw bahwa orang yang paling miskin di negeri ini adalah keluarganya. Maka Rasulullah saw menyuruh Khaulah membawa kurma sebagai kafarat itu pulang ke rumahnya untuk dimakan keluarganya sendiri.
Pada dasarnya agama Islam tidak menyetujui adanya zihar itu, bahkan memandangnya sebagai perbuatan mungkar dan dosa, karena perbuatan zihar itu adalah perbuatan yang tidak mempunyai dasar, mengatakan sesuatu yang bukan-bukan. Akan tetapi, karena zihar itu adalah suatu kebiasaan bangsa Arab Jahiliah, sedang untuk menghapus kebiasaan itu dalam waktu yang singkat akan menimbulkan kegoncangan pada masyarakat Islam yang baru tumbuh, sedang masyarakat itu berasal dari orang-orang Arab masa Jahiliah, maka agama Islam tidak langsung menghapuskan kebiasaan tersebut. Agama Islam menghilangkan semua akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan zihar itu dengan menetapkan waktu menunggu empat bulan. Dalam masa itu, suami boleh menceraikan istrinya atau membayar kafarat bagi yang ingin mencampuri istrinya kembali, yakni mencabut kembali ucapan zihar yang telah diucapkannya. Jadi zihar itu berasal dari hukum Arab masa Jahiliah yang telah dihapuskan oleh Islam. Oleh karena itu, bagi negara-negara atau umat Islam yang tidak mengenal zihar tersebut, tidak perlu mencantumkan hukum itu apabila mereka membuat suatu undang-undang perkawinan.
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah menerangkan kewajiban membayar kafarat itu bagi suami yang telah menzihar istrinya adalah untuk memperdalam jiwa tauhid, mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai rasul Allah, dan agar berhati-hati mengucapkan suatu perkataan, sehingga tidak mengadakan kedustaan dan mengatakan yang bukan-bukan. Dengan demikian, tertanamlah dalam hati setiap orang yang beriman keinginan melaksanakan semua hukum-hukum Allah dengan sebaik-baiknya. Tertanam juga dalam hati mereka bahwa mengingkari hukum-hukum Allah itu akan menimbulkan kesengsaraan di dunia maupun di akhirat nanti.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-Mujadilah: 4)
Dalam penjelasan yang lalu telah dikemukakan hadis-hadis yang memerintahkan hal ini secara tertib, sebagaimana telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain mengenai kisah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dalam bulan Ramadan.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. (Al-Mujadilah: 4)
Artinya, Kami perintahkan demikian itu agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah Swt.:
Dan itulah hukum-hukum Allah. (Al-Mujadilah: 4)
Yakni batasan-batasan yang diharamkan-Nya, maka janganlah kamu melanggarnya.
dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4)
Yaitu orang-orang yang tidak beriman dan tidak mau menetapi hukum-hukum syariat ini serta tidak meyakini bahwa mereka akan selamat dari musibah. Keadaan yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang diduga oleh mereka, bahkan bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat nanti.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Maka barang siapa yang tidak mendapatkan) budak (maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut, sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak mampu) melakukan puasa (memberi makan enam puluh orang miskin) diwajibkan atasnya, yakni sebelum keduanya bercampur kembali sebagai suami istri; untuk tiap-tiap orang miskin satu mudd makanan pokok negeri orang yang bersangkutan. Kesimpulan hukum ini berdasarkan pemahaman menyamakan pengertian yang mutlak dengan yang muqayyad. (Demikianlah) keringanan ini dengan memakai kifarat (supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah) yakni hukum-hukum tersebut (batasan-batasan Allah, dan bagi orang-orang yang ingkar) kepada batasan-batasan atau hukum-hukum Allah itu (azab yang sangat pedih) atau siksaan yang amat menyakitkan.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Sedangkan bagi orang yang tidak menemukan seorang hamba sahaya, maka ia harus melakukan puasa dua bulan berturut-turut sebelum melakukan hubungan suami istri. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Hal itu Kami syariatkan agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian berbuat atas dasar keimanan itu. Itu semua adalah aturan Allah, maka jangan kalian langgar! Orang-orang kafir akan mendapatkan siksa yang sangat menyakitkan.
6 Tafsir as-Saadi
"Sungguh Allah telah mendengar perkataan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (hal-nya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (mengang-gap istrinya bagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak me-narik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu ber-campur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan RasulNya. Dan itulah batas-batas hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih." (Al-Mujadilah: 1-4).
Madaniyah
(1) Ayat-ayat mulia ini turun berkenaan dengan seseorang dari kalangan Anshar ketika istrinya mengadukan perihalnya kepada Rasulullah a yang mengharamkan dirinya setelah sekian lama bersama dan memiliki banyak anak. Suaminya adalah orang yang sudah tua. Istrinya mengadu perihal kondisinya dan kondisi suaminya kepada Allah سبحانه وتعالى dan RasulNya secara berulang-ulang, lalu Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ ﴿ "Sungguh Allah telah mendengar perkataan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua." Yakni, pembicaraan kalian di antara kalian berdua, ﴾ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ ﴿ "Sesungguh-nya Allah Maha Mendengar" semua pembicaraan di seluruh waktu meski dengan keperluan yang diatur rapi, ﴾ بَصِيرٌ ﴿ "lagi Maha Meli-hat," yang bisa melihat langkah semut hitam di atas batu hitam pekat di dalam kegelapan malam. Ini merupakan pemberitahuan tentang sempurnanya penglihatan serta pendengaran Allah سبحانه وتعالى. Pandangan dan penglihatan Allah سبحانه وتعالى meliputi segala hal yang rumit dan besar sekali pun. Di dalam ayat ini juga mencakup isyarat bahwa Allah سبحانه وتعالى akan menghapus masalah yang diadukan serta menghilangkan musibahnya. Karena itu Allah سبحانه وتعالى menyebutkan hukumnya dan hukum yang lain secara umum seraya berfirman (dalam ayat selanjutnya),
(2) ﴾ ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ ﴿ "Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya bagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka." Menzhihar istri adalah, seorang suami berkata kepada istrinya, "Engkau bagi-ku seperti punggung ibuku," atau wanita mahram lain selain ibu, atau dengan mengatakan, "Engkau haram bagiku." Kata-kata yang biasa digunakan ketika menzhihar istri adalah dengan menyebut "Punggung." Karena itulah Allah سبحانه وتعالى menyebut zhihar seraya berfir-man, ﴾ ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم ﴿ "Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya bagai ibunya)." Maksudnya, bagaimana mereka mengucapkan kata-kata yang mereka sendiri tahu tidak ada kenyataannya yang menyamakan istri dengan ibu yang melahirkan mereka? Karena itulah Allah سبحانه وتعالى membesarkan masalah ini serta mencelanya seraya berfirman, ﴾ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ ﴿ "Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta." Maksudnya, perkataan keji dan dusta. ﴾ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ﴿ "Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." Dari berbagai penentangan yang mereka lakukan kemudian disusul dengan taubat yang sungguh-sungguh.
(3) ﴾ وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ ﴿ "Dan orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan." Para ulama berbeda pendapat tentang makna "menarik kembali" dalam ayat ini. Ada yang menyatakan makna-nya adalah tekad untuk menggauli istri yang dizhihar. Yakni hanya sekedar bertekad harus menebus kaffarat yang disebutkan. Pendapat ini dikuatkan bahwa Allah سبحانه وتعالى menyebutkan kaffarat sebelum ter-jadinya pergaulan suami istri sehingga penebusan kaffarat tersebut terjadi setelah adanya tekad dari suami untuk menggauli istri yang dizhihar. Pendapat lain menyatakan, maknanya adalah pergaulan suami istri yang sebenarnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Firman Allah سبحانه وتعالى, ﴾ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ ﴿ "Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan," dan yang mereka katakan hanyalah pergaulan suami istri. Berdasarkan masing-masing kedua pendapat di atas, ketika sang suami kembali, maka ia harus menebus kaffarat, yaitu: ﴾ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ ﴿ "memerdekakan seorang budak," yang beriman sebagaimana yang dibatasi dalam ayat tentang kaffarat pembunuhan, baik lelaki maupun perempuan, dengan syarat tidak memiliki cacat yang mengganggu pekerjaan si budak, ﴾ قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ﴿ "sebelum kedua suami istri itu bercampur." Maksudnya, suami harus menjauhi istrinya yang dizhihar dan tidak dicampuri sampai membayar kaffarat dengan memerdekakan seorang budak yang beriman.
﴾ ذَٰلِكُمۡ ﴿ "Demikianlah," hukum yang Kami jelaskan pada kalian ﴾ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ ﴿ "yang diajarkan kepada kamu," yakni Allah سبحانه وتعالى menjelaskan hukumNya kepada kalian yang disertai dengan ancaman, karena makna nasihat adalah menyebutkan suatu hukum dengan disertai janji dan ancaman. Untuk itu, siapa saja yang ingin menzhihar istri-nya jika ingat hukumannya memerdekakan seorang budak, maka akan menahan diri agar tidak melakukannya. ﴾ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ﴿ "Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." Allah سبحانه وتعالى akan membalas masing-masing orang berdasarkan amalnya.
(4) ﴾ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ ﴿ "Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak)," yang akan dimerdekakan karena memang tidak punya atau tidak memiliki harta seharga seorang budak, ﴾ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ ﴿ "maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa," untuk berpuasa, ﴾ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ﴿ "(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin." Dengan cara memberikan makanan mereka sesuai makanan lazim secukupnya sebagaimana yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir atau dengan memberikan makanan kepada masing-masing orang miskin sebanyak satu mud gandum (mud adalah seukuran dua tangan orang dewasa) atau setengah sha' untuk selain gandum yang cukup untuk dimakan sebagaimana dikemukakan oleh pendapat lain.
﴾ ذَٰلِكَ ﴿ "Demikianlah," hukum yang Kami jelaskan, ﴾ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ ﴿ "supaya kamu beriman kepada Allah dan RasulNya." Dengan berpegang teguh pada hukum ini dan hukum-hukum lain serta mengamalkannya karena berpegang teguh pada hukum Allah سبحانه وتعالى, dan menunaikan termasuk dari keimanan bahkan itulah yang dimaksudkan dari beriman. Dengan menunaikan hukum-hukum Allah سبحانه وتعالى, keimanan akan semakin sempurna dan bertambah. ﴾ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ ﴿ "Dan itulah batas-batas hukum Allah," yang mencegah kalian agar tidak terjatuh padanya. Wajib untuk tidak dilanggar dan di-laksanakan secara seenaknya. ﴾ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿ "Dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih."
Dalam ayat ini terkandung berbagai hukum-hukum:
Pertama, kelembutan dan perhatian Allah سبحانه وتعالى terhadap para hambaNya yang mengisahkan pengaduan wanita yang tertimpa musibah tersebut kemudian Allah سبحانه وتعالى menghilangkan beban dan musibah yang menimpanya. Lebih dari itu, Allah سبحانه وتعالى menghilang-kan beban semua orang yang tertimpa kasus serupa berdasarkan hikmahNya yang menyeluruh.
Kedua, zhihar khusus untuk pengharaman istri karena Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ مِّن نِّسَآئِهِم ﴿ "Istri-istri mereka," dan untuk itu hukum ini tidak berlaku jika seseorang menzhihar budak wanitanya, peng-haraman terhadap budak wanita tidak disebut zhihar namun hanya pengharaman terhadap hal-hal yang baik seperti halnya makanan dan minuman. Wajib menebus kaffarat sumpah saja.
Ketiga, zhihar yang dilakukan terhadap wanita yang belum dinikahi tidaklah sah karena wanita yang dizhihar tersebut belum termasuk istrinya pada saat dizhihar, sebagaimana mentalak wanita yang belum dinikahi juga tidak sah, baik apakah hal itu sudah dilakukan (tanpa syarat) ataupun dengan syarat.
Keempat, zhihar hukumnya haram, karena Allah سبحانه وتعالى menye-butnya, ﴾ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ ﴿ "Suatu perkataan yang mungkar dan dusta."
Kelima, peringatan Allah سبحانه وتعالى atas hukum dan hikmahNya, karena Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ ﴿ "Padahal tiadalah istri me-reka itu ibu-ibu mereka."
Keenam, seorang suami dilarang memanggil istrinya dengan panggilan yang diharamkan seperti "Hai ibuku," "Hai saudariku," dan lainnya, karena panggilan-panggilan seperti itu menyerupai panggilan pada wanita mahram (haram dinikahi).
Ketujuh, kaffarat zhihar wajib dibayar ketika suami menarik kembali ucapan zhiharnya, berdasarkan perbedaan kedua pendapat sebelumnya, dan bukan sekedar karena ucapan zhihar.
Kedelapan, pembayaran kaffarat zhihar bisa berupa budak kecil atau dewasa, lelaki atau perempuan; karena ayat menyebut-nya secara mutlak.
Kesembilan, kaffarat wajib ditunaikan baik memerdekakan budak atau dengan berpuasa sebelum suami mencampuri istri sebagaimana yang ditentukan oleh Allah سبحانه وتعالى, tidak seperti kaffarat yang berupa memberi makanan, suami boleh mencampuri istrinya pada saat pemberian makanan dilakukan.
Kesepuluh, sepertinya hikmah wajibnya menunaikan kaffarat sebelum mencampuri istri supaya kaffarat tersebut ditunaikan. Karena seorang suami yang ingin mencampuri istrinya dan ia mengetahui hal itu tidak mungkin kecuali setelah menunaikan kaffarat, ia akan segera membayar kaffarat.
Kesebelas, harus memberi makan enam puluh orang miskin, tidak boleh menyatukan jatah makanan eman puluh orang miskin kemudian dibayarkan pada satu orang miskin saja atau lebih dari itu yang kurang dari enam puluh, karena Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ﴿ "Memberi makan enam puluh orang miskin."