Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. kepada para ibu, menganjurkan agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna, yaitu selama dua tahun penuh. Sesudah itu penyusuan tidak berpengaruh lagi terhadap kemahraman. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
...yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Kebanyakan para imam berpendapat bahwa masa penyusuan tidak dapat menjadikan mahram kecuali bila si bayi yang disusui berusia di bawah dua tahun. Untuk itu seandainya ada anak yang menyusu kepada seorang wanita, sedangkan usianya di atas dua tahun, maka penyusuan itu tidak menjadikan mahram baginya.
Di dalam bab hadis yang mengatakan bahwa penyusuan tidak menjadikan mahram pada diri seorang anak kecuali bila usianya di bawah dua tahun, Imam Turmuzi mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Persusuan tidak menjadikan mahram kecuali susuan yang dilakukan langsung pada tetek lagi mengenyangkan perut dan terjadi sebelum masa penyapihan.
Hadis ini hasan sahih. Hal inilah yang diamalkan di kalangan kebanyakan ahlul ilmi dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan lain-lainnya. Yaitu bahwa penyusuan tidak menjadi mahram kecuali bila dilakukan dalam usia di bawah dua tahun, sedangkan penyusuan yang dilakukan sesudah usia genap dua tahun, hal ini tidak menjadikan mahram sama sekali. Fatimah bintil Munzir ibnuz Zubair ibnul Awwam adalah istri Hisyam ibnu Urwah.
Menurut kami, hanya Imam Turmuzi sendiri yang mengetengahkan riwayat hadis ini, sedangkan para rawinya bersyaratkan Sahihain. Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan, "Illa ma kana fis sadyi,'" ialah kecuali susuan yang dilakukan pada tetek sebelum usia dua tahun. Seperti yang terdapat di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Waki' dan Gundar, dari Syu'bah, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa ketika Ibrahim ibnu Nabi Saw. meninggal dunia, Nabi Saw. bersabda:
sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di dalam surga.
Hal yang sama diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Syu'bah. Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda demikian tiada lain karena putra beliau yang bernama Ibrahim a.s. wafat dalam usia dua puluh dua bulan. Karena itulah beliau Saw. bersabda: sesungguhnya dia mempunyai orang yang menyusukannya di dalam surga.
Yakni yang akan menggenapkan masa persusuannya. Pengertian ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui jalur Al-Haisam ibnu Jamil, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tiada yang menjadikan mahram karena persusuan kecuali yang dilakukan sebelum usia dua tahun.
Kemudian Imam Daruqutni mengatakan, tiada yang menyandarkannya kepada Ibnu Uyaynah selain Al-Haisam ibnu Jamil, tetapi Al-Haisam orangnya siqah lagi hafiz (hafal hadis).
Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Saur ibnu Yazid, dari Ibnu Abbas secara marfu'. Imam Darawardi meriwayatkannya pula dari Saur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yang di dalam riwayatnya ditambahkan seperti berikut:
Dan persusuan yang terjadi sesudah usia dua tahun tidak mempunyai pengaruh apa pun.
Riwayat ini lebih sahih.
Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkan melalui Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Tiada penyusuan lagi sesudah masa penyapihan, dan tiada status yatim sesudah usia balig.
Penunjukan makna yang diketengahkan oleh hadis ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah Swt. yang mengatakan:
dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku. (Luqman:14)
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (Al Ahqaaf:15)
Pendapat yang mengatakan bahwa persusuan sesudah usia dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa'id ib-nul Musayyab, dan Ata serta jumhur ulama. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, AS-Sauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik dalam salah satu riwayatnya.
Menurut riwayat yang lain dari Imam Malik juga disebutkan bahwa masa persusuan itu adalah dua tahun dua bulan, dan menurut riwayat yang lainnya lagi yaitu dua tahun tiga bulan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, masa penyusuan adalah dua setengah tahun. Zufar ibnul Huzail mengatakan bahwa selagi si anak masih mau tetap menyusu, maka batas maksimalnya adalah tiga tahun, pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Al-Auza'i.
Imam Malik mengatakan, "Seandainya seorang anak telah disapih dari penyusuan sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita menyusukannya setelah disapih, maka penyusuan kali ini tidak menjadikan mahram, karena persusuan saat itu disamakan kedudukannya dengan makanan." Pendapat ini pun merupakan suatu riwayat lain dari Al-Auza'i.
Telah diriwayatkan dari Umar r.a. dan Ali r.a., bahwa keduanya pernah mengatakan, "Tiada persusuan sesudah penyapihan." Maka kalimat ini diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud usia dua tahun, sama halnya dengan pendapat jumhur ulama, yakni baik telah disapih ataupun belum. Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa keduanya bermaksud kenyataannya. Dengan demikian, berarti sama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Malik.
Telah diriwayatkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a., ia berpendapat bahwa penyusuan anak yang sudah besar mempunyai pengaruh pula dalam kemahraman. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ata ibnu Abu Rabah dan Al-Lais ibnu Sa'd. Tersebutlah bahwa Siti Aisyah r.a. selalu memerintahkan kepada orang yang ia pilih boleh masuk ke dalam rumahnya untuk menemui wanita-wanita yang ada di dalam asuhannya, untuk menyusu kepadanya terlebih dahulu. Siti Aisyah r.a. berpendapat demikian karena berdasarkan kepada hadis yang mengisahkan masalah Salim maula Abu Huzaifah. Nabi Saw. memerintahkan kepada istri Abu Huzaifah untuk menyusukan Salim, sedangkan Salim ketika itu sudah besar. Setelah itu Salim bebas menemui istri Abu Huzaifah berkat penyusuan tersebut. Akan tetapi istri-istri Nabi Saw. yang lainnya (selain Siti Aisyah r.a.) tidak mau melakukan hal tersebut, mereka berpendapat bahwa peristiwa Salim tersebut termasuk hal yang khusus. Pendapat inilah yang dianut oleh jumhur ulama.
Hujah yang dipegang oleh jumhur ulama —mereka terdiri atas para imam yang empat orang, ulama ahli fiqih yang tujuh orang, para sesepuh sahabat, dan istri-istri Nabi Saw. selain Siti Aisyah r.a.— ialah sebuah hadis yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) siapakah saudara-saudara kalian, karena sesungguhnya persusuan itu hanyalah karena kelaparan.
Mengenai masalah persusuan dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah anak yang sudah besar menyusu, akan dibahas dalam tafsir firman-Nya:
dan ibu-ibu kalian yang menyusukan kalian. (An Nisaa:23)
Firman Allah Swt.:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.
Yakni diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (At-Talaq: 7)
Ad-Dahhak mengatakan, "Apabila seseorang menceraikan istrinya, sedangkan ia telah punya anak dari istrinya itu yang masih dalam masa penyusuan, maka ia wajib memberi nafkah dan sandang kepada istrinya yang telah diceraikan itu dengan cara yang makruf (selama bekas istrinya itu masih menyusukan anaknya)."
Firman Allah Swt.:
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.
Yakni misalnya pihak si ibu menyerahkan bayi itu kepada pihak ayah si bayi untuk menimpakan kemudaratan terhadap pihak ayah si bayi karena diharuskan memeliharanya. Pihak ibu tidak boleh menyerahkan si bayi yang telah dilahirkannya (kepada suaminya) sebelum menyusukannya yang pada kebanyakan si bayi tidak dapat hidup melainkan dengan susu ibunya. Setelah masa penyusuan telah habis, maka pihak ibu si bayi baru diperbolehkan menyerahkan bayinya itu kepada ayah si bayi jika pihak ibu berkenan. Sekalipun demikian, jika hal tersebut mengakibatkan pihak ayah si bayi menderita kesengsaraan karena harus memelihara bayinya, maka pihak ibu tidak boleh menyerahkan bayinya itu kepada ayah si bayi. Sebagaimana tidak dihalalkan bagi pihak ayah si bayi merampas bayi dari tangan ibunya hanya semata-mata untuk menimpakan kesengsaraan kepada pihak ibu si bayi. Karena itu, maka Allah Swt. berfirman:
dan (janganlah menderita kesengsaraan) seorang ayah karena anaknya. (Al Baqarah:233)
Yaitu misalnya ayah si anak (bayi) ingin merampas anak dari tangan ibunya dengan tujuan menyengsarakan ibunya.
Demikianlah menurut penafsiran Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri,As-Saddi, As-Sauri, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
Firman Allah Swt.:
...dan waris pun berkewajiban demikian.
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'kepada ahli waris diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan mudarat kepadanya'. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan oleh Umar ibnul Khattab r.a. dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
Barang siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia harus memerdekakannya.
Telah disebutkan bahwa persusuan atau rada'ah sesudah usia dua tahun adakalanya menimpakan kesengsaraan terhadap pihak anak, barangkali pada tubuhnya atau akalnya. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah melihat seorang ibu yang menyusukan anaknya sesudah si anak berusia dua tahun, maka ia berkata kepada si ibu tersebut, "Janganlah kau susui dia!"
Firman Allah Swt.:
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dengan kata lain, apabila pihak ayah dan ibu si bayi sepakat untuk menyapih anaknya sebelum si anak berusia dua tahun, dan keduanya memandang bahwa keputusan inilah yang mengandung maslahat bagi diri si bayi, serta keduanya bennusyawarah terlebih dahulu untuk itu dan membuahkan kesepakatan, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk melakukan hal tersebut.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa bila salah satu pihak saja yang melakukan hal ini dinilai kurang cukup, dan tidak boleh bagi salah satu pihak dari keduanya memaksakan kehendaknya dalam hal ini tanpa persetujuan dari pihak yang lainnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh As-Sauri dan lain-lainnya. Pendapat ini mengandung sikap preventif bagi si bayi demi kemaslahatannya, dan hal ini merupakan rahmat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, mengingat Dia telah menetapkan keharusan bagi kedua orang tua untuk memelihara anak mereka berdua, dan memberikan bimbingan kepada apa yang menjadi maslahat bagi kedua orang tua, juga maslahat si anak. Seperti yang diungkapkan di dalam surat At-Talaq melalui firman-Nya:
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian untuk kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kalian menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (At-Talaq: 6)
Firman Allah Swt.:
Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut.
Apabila ibu dan ayah si bayi sepakat bahwa masalah persusuan si bayi diserahkan kepada pihak ayah, adakalanya karena pihak ibu si bayi berhalangan menyusukannya atau adakalanya halangan dari pihak bayinya, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam masalah penyerahan bayi mereka. Bukan merupakan suatu keharusan bagi pihak ayah untuk menerima penyerahan itu bilamana ia telah menyerahkan kepada pihak ibu upah penyusuan si bayi dengan cara yang lebih baik, lalu si bayi disusukan wanita lain dengan upah tersebut. Pengertian ini sudah tidak asing lagi. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh ulama yang bukan hanya satu orang.
Firman Allah Swt.:
Bertakwalah kalian kepada Allah.
Yakni dalam semua keadaan kalian.
...dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.
Artinya, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari sepak terjang dan semua ucapan kalian.