Al-Baqarah Ayat 5
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ( البقرة: ٥ )
'Ūlā'ika `Alaá Hudan Min Rabbihim Wa 'Ūlā'ika Hum Al-Mufliĥūna. (al-Baq̈arah 2:5)
Artinya:
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. [2] Al-Baqarah : 5)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Mereka yang mempunyai ciri-ciri sebagaimana disebutkan itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, berada pada posisi yang sangat mulia dan agung, sebab mereka menaati semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, dan hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung memperoleh apa yang mereka inginkan, yaitu kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga dan terbebas dari neraka.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Kelima: Beriman kepada adanya hari akhirat. "Akhirat" lawan dari "dunia". Akhirat ialah tempat manusia berada setelah dunia ini lenyap. "Beriman akan adanya akhirat" ialah benar-benar percaya adanya hidup yang kedua setelah dunia ini berakhir.
Orang-orang yang mempunyai sifat yang lima di atas adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah dan merekalah orang-orang yang akan merasakan hasil iman dan amal mereka di akhirat nanti, mereka memperoleh keridaan Allah dan tempat tinggal mereka di akhirat ialah di surga yang penuh kenikmatan. Di dalamnya mereka menikmati kebahagiaan yang abadi.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. berfirman bahwa yang dimaksud dengan mereka itu ialah orang-orang yang mempunyai ciri-ciri khas terdahulu, yaitu iman kepada yang gaib, mendirikan salat, memberi nafkah dari rezeki yang diberikan Allah kepada mereka, iman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya, dan yakin kepada kehidupan akhirat, yang hal ini menuntut persiapan sebagai bekal guna menghadapinya, yaitu mengerjakan amal-amal saleh dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.
tetap beroleh cahaya penjelasan dan petunjuk dari Allah Swt.
dan merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna "mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya" ialah tetap beroleh nur dari Tuhan mereka dan tetap istiqamah (berpegang teguh) kepada Al-Qur'an yang disampaikan kepada mereka.
Wa ulaika humul muflihun, merekalah orang-orang yang beruntung, yakni orang-orang yang memperoleh apa yang mereka minta dan selamat dari kejahatan yang mereka menghindar darinya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Ulaika 'ala hudam mirrabbihim," ialah "sesungguhnya mereka tetap memperoleh nur (cahaya) dari Tuhannya, pembuktian, istiqamah, dan bimbingan serta taufik Allah buat mereka".
Takwil firman-Nya, Ulaika humul muflihun ialah "merekalah orang-orang yang sukses dan memperoleh apa yang mereka dambakan di sisi Allah melalui amal perbuatan mereka dan iman mereka kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya, dambaan tersebut berupa keberuntungan memperoleh pahala, kekal di surga, dan selamat dari siksaan yang telah disediakan oleh Allah buat musuh-musuh-Nya".
Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah pendapat dari sebagian kalangan ahli tafsir, bahwa isim isyarah diulangi di dalam firman-Nya:
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Hal itu ditujukan kepada orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab yang ciri-ciri khasnya telah disebutkan melalui firman-Nya: dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu. (Al Baqarah:4) hingga akhir ayat, seperti yang telah disebutkan perselisihan mengenainya.
Berdasarkan takwil ini, berarti diperbolehkan menganggap firman-Nya, '"Wallazina yu-minuna bima unzila ilaika," bersifat munqati' (terpisah) dari ayat sebelumnya, dan kedudukan i'rab-nya marfu' karena dianggap sebagai mubtada, sedangkan khabar-nya adalah firman Allah Swt, "Wa ulaika humul muflihun"
Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kembali kepada semua orang yang telah disebut sebelumnya dari kalangan orang-orang beriman bangsa Arab dan orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab. Ia memilih pendapat ini karena berdasarkan kepada sebuah asar yang diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mereka adalah orang-orang mukmin bangsa Arab. Sedangkan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu maksudnya ialah orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab. Kemudian keduanya dihimpun dalam satu ayat, yaitu melalui firman-Nya:
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Dalam tarjih yang telah kami sebutkan di atas, makna yang dimaksud ialah menerangkan ciri-ciri orang-orang mukmin secara umum, dan isyarat mengandung makna umum ditujukan kepada mereka semua.
Telah dinukil sebuah riwayat dari Mujahid, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah dan Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Misri, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mugirah, dari Abul Haisam yang nama aslinya ialah Sulaiman ibnu Abdullah, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. Pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tetap membaca Al-Qur'an, lalu kami berdoa, dan kami tetap membaca Al-Qur'an hingga hampir saja kami berputus asa." Maka Nabi Saw. bersabda, "Maukah kalian aku beritakan tentang penduduk surga dan penduduk neraka?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. membacakan firman-Nya:
Alif lam m'im. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan pada-nya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa," sampai dengan firman-Nya, "Orang-orang yang beruntung.
Kemudian Nabi Saw. bersabda, "Mereka adalah penduduk surga." Mereka (para sahabat) berkata, "Sesungguhnya kami berharap semoga diri kami termasuk dari mereka." Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka," sampai dengan firman-Nya, "Siksaan yang amat berat.”(Al Baqarah: 6)
Beliau Saw. bersabda, "Mereka adalah penduduk neraka." Mereka (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, tentunya kami bukan termasuk mereka." Beliau Saw. menjawab, "Ya."
4 Tafsir Al-Jalalain
(Merekalah), yakni orang-orang yang memenuhi sifat-sifat yang disebutkan di atas (yang beroleh petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung) yang akan berhasil meraih surga dan terlepas dari siksa neraka.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Mereka yang mempunyai ciri-ciri sifat sebagaimana disebutkan adalah golongan yang telah dipersiapkan dan ditetapkan untuk memperoleh petunjuk ketuhanan. Mereka adalah satu-satunya golongan yang bakal mendapatkan kemenangan, pahala yang diharapkan dan didambakan, oleh sebab upaya dan kerja keras mereka dengan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan.
6 Tafsir as-Saadi
"Alif lam mim. Kitab (al-Qur`an) ini tidak ada keraguan pada-nya;
petunjuk (hidayah) bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
me-nafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada
Kitab (al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang
telah diturunkan se-belummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung." (Al-Baqarah: 1-5).
Madaniyah
Telah berlalu pembahasan tentang makna basmalah.
(1) Huruf-huruf yang terpenggal-penggal di setiap awal surat, lebih baik
membiarkannya dan tidak mencoba-coba mencari makna-maknanya tanpa ada sandaran yang syar'i, dan
diiringi dengan keyakinan yang kuat bahwasanya Allah تعالى tidak menurunkannya dengan sia-sia,
akan tetapi menyimpan hikmah yang tidak kita ke-tahui.
(2) FirmanNya, ﴾ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ ﴿ "Kitab itu," yakni kitab suci yang agung ini dalam arti hakiki, yang mengandung hal-hal yang tidak dikandung oleh kitab-kitab terdahulu maupun sekarang berupa ilmu yang agung dan kebenaran yang nyata, ﴾
لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ ﴿ "tidak ada keraguan padanya," dan juga tidak ada kebimbangan padanya dalam bentuk apa pun. Meniadakan keraguan dari kitab ini mengharuskan apa yang bertentangan dengannya, di mana hal yang bertentangan dengan hal itu adalah keyakinan, maka kitab ini mengandung ilmu keyakinan yang menghapus segala bentuk keraguan dan kebim-bangan.
Ini merupakan suatu kaidah yang menunjukkan bahwa peni-adaan di sini maksudnya adalah pujian yang harus melingkupi hal yang bertentangan dengannya yaitu kesempurnaan, karena penia-daan adalah suatu yang tidak ada, sedangkan hal yang tiada secara murni itu tidak ada pujian padanya. Dan karena Kitab suci ini me-ngandung keyakinan sedangkan hidayah itu tidaklah akan dapat diperoleh kecuali dengan keyakinan, maka Allah berfirman,﴾
هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ﴿ "Petunjuk (hidayah) bagi mereka yang bertakwa." Hidayah itu ada-lah suatu yang memberikan hidayah dari kesesatan dan kesamaran, dan (sebaliknya) membimbing untuk menempuh jalan yang berguna.
Allah berfirman di sini, ﴾ هُدٗى ﴿ "Petunjuk" dan tidak merinci bentuk petunjuknya, Dia tidak berfirman, "petunjuk untuk kemas-lahatan ini atau untuk kepentingan begini," karena yang dimaksud adalah keumuman (mencakup semua maslahat dan kebaikan), dan bahwasanya ia adalah petunjuk untuk seluruh kemaslahatan kedua negeri, ia adalah pembimbing bagi hamba dalam masalah-masalah ushul (pokok) dan masalah-masalah furu' (cabang), pemberi penje-lasan untuk kebenaran dari kebatilan, dan yang shahih dari yang lemah, dan pemberi penjelasan bagi mereka tata cara menempuh jalan yang berguna bagi mereka di dunia dan akhirat mereka. Allah berfirman pada tempat yang lain,
﴾ هُدٗى لِّلنَّاسِ ﴿
"Petunjuk bagi manusia." (Al-Baqarah: 185).
Ini juga umum mencakup semua (untuk seluruh manusia), se-dangkan pada pembahasan ini dan yang selainnya adalah ﴾
هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ﴿ "petunjuk bagi mereka yang bertakwa," karena sesungguhnya dalam hal itu sendiri telah bermakna petunjuk bagi seluruh manusia, sedangkan orang-orang yang celaka tidak memperhatikan hal itu dan mereka tidak menerima petunjuk Allah, maka dengan petunjuk ini, hujjah telah ditegakkan atas mereka, dan mereka tidak mengambil manfaat dengannya, dikarenakan mereka adalah orang-orang celaka.
Orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang melakukan sebab yang terbesar demi memperoleh petunjuk yaitu ketakwaan, yang mana hakikatnya adalah menjalankan perkara yang dapat me-lindungi dari kemurkaan Allah dan azabNya dengan cara menger-jakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, lalu mereka mengambil petunjuk dengan itu dan mengambil manfaat darinya dengan sebenar-benarnya. Allah q berfirman,
﴾ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا ﴿
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan
kepadamu furqan (petunjuk yang dapat membedakan yang haq dan yang batil)."
(Al-Anfal: 29).
Maka orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang me-ngambil manfaat dengan ayat-ayat al-Qur`an
dan ayat-ayat kauni-yah, juga karena hidayah itu ada dua macam; hidayah penjelasan, dan hidayah
taufik. Maka orang-orang yang bertakwa mendapat-kan kedua hidayah tersebut sedangkan selain dari
mereka tidak mendapatkan hidayah taufik, karena hidayah penjelasan tanpa mendapat hidayah taufik
untuk mengamalkannya bukan merupa-kan hidayah secara hakiki dan sempurna.
Kemudian Allah menggambarkan ciri orang-orang yang ber-takwa tersebut, yaitu memiliki
keyakinan-keyakinan dan amalan-amalan batin serta amalan-amalan lahir, karena ketakwaan memang
mencakup semua itu seraya berfirman,
(3) ﴾ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ ﴿ "Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib." Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan ang-gota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang ghaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, namun kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari RasulNya ﷺ.
Inilah keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan Rasul-rasulNya. Maka seorang yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah atau yang dikabarkan oleh RasulNya, baik yang dia saksikan atau-pun tidak, baik dia mampu memahami dan masuk dalam akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan[2] perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak sampai kepadanya, akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah harapan mereka, dan (sebaliknya) ber-sihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah.
Dan termasuk dalam keimanan kepada yang ghaib adalah keimanan kepada seluruh kabar yang diberitakan oleh Allah dari hal-hal ghaib yang terdahulu maupun yang akan datang, kondisi-kondisi Hari Akhirat, hakikat sifat-sifat Allah dan bentuk-bentuk-nya, dan kabar yang diberikan oleh RasulNya tentang semua itu; di mana mereka beriman kepada sifat-sifat Allah dan keberadaannya, dan mereka meyakininya walaupun mereka tidak mampu mema-hami cara dan bentuknya.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ ﴿ "Yang mendirikan shalat." Dia tidak berfirman, yang mengerjakan shalat, atau menjalankan shalat, karena sesungguhnya tidaklah cukup hanya sekedar men-jalankan dengan bentuknya yang lahir saja, karena mendirikan shalat yang dimaksud adalah mendirikan shalat secara lahir dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan syarat-syaratnya, dan juga mendirikannya secara batin dengan mendirikan ruhnya yaitu dengan menghadirkan hati padanya, merenungi apa yang dibaca dan mengamalkannya. Maka shalat inilah yang dise-butkan dalam Firman Allah تعالى,
﴾ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ ﴿
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar." (Al-Ankabut: 45).
Yaitu shalat yang memperoleh ganjaran. Maka tidak ada ganjaran bagi seorang hamba dari shalatnya kecuali apa yang dia pahami darinya, dan termasuk dalam shalat di sini adalah yang wajib maupun yang sunnah.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ﴿ "Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka." Termasuk di dalamnya nafkah-nafkah yang wajib, seperti zakat, nafkah atas istri, keluarga dan para budak dan sebagainya, dan nafkah-nafkah yang dicintai dengan segala jalan kebaikan. Dan tidak disebutkan-nya hal-hal yang diinfakkan karena banyaknya sebab-sebabnya dan bermacam-macam penerimanya, dan karena nafkah itu pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada Allah. Dia juga disebutkan dengan kata "dari" yang menunjukkan makna sebagian, demi untuk mengingatkan mereka bahwasanya Allah tidak menghendaki dari mereka kecuali sebagian kecil saja dari harta-harta mereka yang tidak akan memudaratkan mereka dan tidak akan pula memberat-kan mereka, bahkan mereka akan mengambil manfaat dari infak mereka tersebut, dan saudara-saudara mereka juga akan dapat mengambil manfaat darinya. Dan dalam Firman Allah, ﴾
رَزَقۡنَٰهُمۡ ﴿ "Rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka," terkandung sebuah isyarat bahwa
harta yang ada di hadapanmu ini tidaklah diperoleh dari kekuatan dan kepemilikanmu, akan tetapi
itu semua adalah rizki Allah yang dianugerahkan kepada kalian dan diberikanNya nikmat itu atas
kalian. Maka karena nikmat yang diberikan oleh Allah atas kalian dan kemurahanNya terhadap
kalian dibanding banyak hamba-hambaNya yang lain, maka bersyukurlah kepada-Nya dengan
mengeluarkan sebagian nikmat yang diberikan atas kalian tersebut, dan hiburlah saudara-saudara
kalian yang tidak memilikinya.
Dan sangatlah banyak sekali Allah menyatukan (menyanding-kan) shalat
dengan zakat dalam al-Qur`an, karena shalat itu mengan-dung keikhlasan hanya kepada Dzat yang
disembah, sedangkan zakat dan nafkah mengandung berbuat baik kepada sesama hamba-hambaNya. Maka
tanda dari kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Dzat yang disembah dan usahanya
dalam memberikan manfaat kepada manusia, sebagaimana tanda keseng-saraan seorang hamba adalah
tidak adanya kedua perkara tersebut pada dirinya, tidak ada keikhlasan dan tidak pula perbuatan
baik kepada sesama.
(4) Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ
إِلَيۡكَ ﴿ "Dan me-reka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu" yaitu al-Qur`an dan as-Sunnah. Allah q berfirman,
﴾ وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ ﴿
"Dan Allah telah menurunkan al-Kitab (al-Qur`an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) kepadamu." (An-Nisa`: 113),
Maka orang-orang yang bertakwa itu beriman kepada seluruh perkara yang datang dari Rasul, dan mereka tidak membeda-be-dakan antara sebagian dengan lainnya dari apa yang diturunkan kepadanya, di mana dia beriman dengan sebagiannya, dan tidak beriman dengan sebagiannya, baik dengan cara mengingkarinya atau dengan mentakwilkannya dari maksud yang dikehendaki oleh Allah dan RasulNya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan bid'ah yang mentakwilkan nash-nash yang bertentangan dengan pendapat mereka, yang pada implikasinya tidak mempercayai makna-maknanya walaupun mereka memper-cayai kata-katanya, sehingga (hakikatnya) mereka tidak beriman kepadanya secara hakiki.
Dan FirmanNya, ﴾ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ ﴿ "Dan apa yang telah diturunkan se-belummu," meliputi keimanan kepada seluruh kitab-kitab terdahulu, dan keimanan kepada kitab-kitab mencakup keimanan kepada Ra-sul-rasul dan kepada hal-hal yang meliputinya, khususnya Taurat, Injil, dan Zabur. Dan ini adalah keistimewaan kaum Mukminin yang beriman kepada kitab-kitab langit seluruhnya, dan kepada seluruh Rasul-rasul, dan mereka tidak membeda-bedakan salah satu di antara mereka.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ ﴿ "Serta mereka yakin akan adanya akhirat." Akhirat
adalah sebuah nama bagi kehidupan yang ada setelah kematian, dan disebutkannya secara khusus
sete-lah kata yang umum, adalah karena keimanan kepada Hari Akhirat termasuk salah satu dari
rukun iman, dan karena merupakan pen-dorong yang paling besar dalam hal harapan, kekhawatiran
dan beramal. Sedangkan keyakinan adalah ilmu yang sempurna yang padanya tidak ada keraguan
sedikit pun, yang membuahkan per-buatan.
(5) ﴾ أُوْلَٰٓئِكَ ﴿ "Mereka itulah," yaitu yang bersifat dengan sifat-sifat terpuji tersebut ﴾
عَلَىٰ هُدٗى مِّن رَّبِّهِمۡۖ ﴿ "yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka," yakni yang tetap di atas petunjuk yang besar; karena pemakaian kata yang tidak terbatas (nakirah) adalah untuk ung-kapan mengagungkan. Dan hidayah apalagi yang lebih agung dari sifat-sifat yang telah disebutkan yang mengandung keyakinan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang lurus? Pada hakikatnya hidayah itu hanya seperti hidayah yang ada pada mereka tersebut, sedangkan apa-apa yang bertentangan dengan itu adalah kesesatan. Dan dipakai kata عَلَى (di atas) dalam posisi kalimat di sini menun-jukkan pada ketinggian, adapun dalam posisi kata kesesatan me-makai kata فِيْ (di dalam) sebagaimana dalam FirmanNya,
﴾ وَإِنَّآ أَوۡ إِيَّاكُمۡ لَعَلَىٰ هُدًى أَوۡ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ 24 ﴿
"Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada di atas kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata." (Saba`: 24).
Hal itu karena ahli hidayah adalah tinggi dengan hidayah tersebut adapun ahli kesesatan yang tenggelam di dalamnya adalah terhina.
Kemudian Allah berfirman, ﴾ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ﴿ "Dan merekalah orang-orang yang beruntung."
Keberuntungan adalah memperoleh hal yang diinginkan dan selamat dari hal yang dikhawatirkan.
Pembatasan keberuntungan hanya pada mereka, karena tidak ada jalan menuju kepada keberuntungan
kecuali dengan menempuh jalan mereka tadi, dan jalan-jalan selain jalan tersebut, maka itu semua
adalah jalan kesengsaraan, kehancuran, dan kerugian yang akan menjerumuskan penempuhnya kepada
kebinasaan. Oleh karena itu, ketika Allah menyebutkan sifat-sifat kaum Mukminin yang hakiki, Dia
menyebutkan pula sifat-sifat kaum kafir yang menampakkan kekufuran mereka yang durhaka kepada
Rasul seraya berfirman,