Ali 'Imran Ayat 8
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚاِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ( آل عمران: ٨ )
Rabbanā Lā Tuzigh Qulūbanā Ba`da 'Idh Hadaytanā Wa Hab Lanā Min Ladunka Raĥmatan 'Innaka 'Anta Al-Wahhābu. (ʾĀl ʿImrān 3:8)
Artinya:
(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. [3] Ali 'Imran : 8)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Menggunakan akal semata akan membuat seseorang mudah tergelincir. Oleh karenanya, orang-orang yang mendalam ilmunya dan mantap imannya selalu berdoa, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan sebagaimana halnya mereka yang mencaricari takwil ayat-ayat mutasyabih untuk menimbulkan keraguan, setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat yang mencakup segala jenis dan macamnya, antara lain berupa kemantapan iman, ketenangan batin, kemudahan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Rahmat itu bersumber dan langsung dari sisi-Mu, turun secara berkesinambungan dan tanpa mengharap imbalan apa pun, sebab sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Sikap orang yang ilmu pengetahuannya telah mendalam, mereka selalu berdoa dan berserah diri kepada Allah swt, bila mereka tidak sanggup lagi memikirkan ayat-ayat Allah. Mereka berdoa kepada Allah agar selalu dipelihara, dipimpin, diberi petunjuk, dan jangan sampai mereka tergelincir ke jalan yang sesat setelah mereka mendapat petunjuk. Dari doa mereka dipahami bahwa yang mereka mohonkan itu bukanlah semata-mata keselamatan dan kebahagiaan duniawi, tetapi juga mereka memohon kebahagiaan dan keselamatan di akhirat.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Allah Swt. memberitakan perihal mereka, bahwa mereka selalu berdoa kepada Tuhan mereka seraya mengucapkan:
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami.
Yakni janganlah Engkau menjadikannya menyimpang dari petunjuk sesudah Engkau meluruskannya pada jalan hidayah. Dan janganlah Engkau jadikan kami seperti orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat kesesatan, yaitu mereka mengikuti ayat-ayat Al-Qur'an yang mutasyabih, tetapi tetapkanlah (teguhkanlah) kami pada jalan-Mu yang lurus dan agama-Mu yang lurus.
...dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau.
Agar hati kami menjadi teguh, dan kesatuan kami terhimpun, serta iman dan keyakinan kami bertambah karenanya.
...karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib. Keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abdul Hamid ibnu Bahrain, dari Syar ibnu Hausyab, dari Ummu Salamah, bahwa Nabi Saw. mengucapkan doa berikut: Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Kemudian membaca ayat berikut:
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih dari jalur Muhammad ibnu Bakkar, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ummu Salamah, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan, aku pernah mendengar Asma binti Yazid ibnus Sakan menceritakan bahwa Rasulullah Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, bahwa ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hati itu benar-benar berbolak-balik?" Rasul Saw. menjawab: Ya, tidak sekali-kali Allah menciptakan seorang manusia melainkan hati manusia itu berada di antara dua jari (kekuasaan) Allah Swt. Jika Dia menghendaki untuk meluruskannya, maka Dia menjadikannya lurus. Dan jika Dia menghendaki untuk menyesatkannya, maka Dia menjadikannya sesat.
Kami memohon kepada Allah, Tuhan kami, semoga Dia tidak menjadikan hati kami sesat sesudah Dia memberinya petunjuk. Dan kami memohon kepada-Nya semoga Dia menganugerahkan kepada kami rahmat dari sisi-Nya, karena sesungguhnya Dia Maha Pemberi karunia.
Begitu pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadis Asad ibnu Musa, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, disebutkan hal yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Al-Musanna, dari Al-Hajjaj ibnu Minhal, dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan lafaz yang semisal. Tetapi di dalam riwayat ini ditambahkan seperti berikut:
Aku (Ummu Salamah) berkata, "Wahai Rasulullah, maukah engkau mengajarkan kepadaku suatu doa yang aku panjatkan buat diriku sendiri?" Rasulullah Saw. menjawab, "Baiklah. Ucapkanlah, 'Ya Allah, Tuhan Muhammad yang menjadi nabi, berilah daku ampun atas dosa-dosaku, lenyapkanlah luapan hatiku, dan lindungilah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan'."
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harun ibnu Bakkar Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid Al-Khallal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Yahya ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Hassan Al-A'raj, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa doa yang sering dibaca oleh Rasulullah Saw. adalah seperti berikut: Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu. Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, engkau sering sekali membaca doa ini." Maka beliau Saw. menjawab: Tidak ada suatu hati pun melainkan ia berada di antara kedua jari (kekuasaan) Tuhan Yang Maha Pemurah. Jika Dia menghendaki meluruskannya, niscaya Dia membuatnya lurus, dan jika Dia menghendaki menyesatkannya, niscaya Dia membuatnya sesat. Tidakkah engkau pernah mendengar firman-Nya,
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (rahmat)".
Hadis ini garib bila ditinjau dari lafaz ini, tetapi asalnya ada di dalam kitab Sahihain dan kitab-kitab hadis lainnya yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak tanpa tambahan ayat ini.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Murdawaih melalui riwayat Abu Abdur Rahman Al-Maqbari. Imam Nasai, Ibnu Hibban, dan Abdullah ibnu Wahb menambahkan bahwa keduanya meriwayatkan hadis ini dari Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid At-Tajibi, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila terbangun di malam hari mengucapkan doa berikut:
Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosaku, dan aku memohon rahmat kepada-Mu. Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku dan janganlah Engkau sesatkan hatiku sesudah Engkau memberinya petunjuk, dan karuniakanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi karunia.
Lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Murdawaih.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Malik, dari Abu Ubaid maula Sulaiman ibnu Abdul Malik, dari Ubadah ibnu Nissi yang menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Qais ibnul Haris mengatakan bahwa Abu Abdullah As-Sanabiji menceritakan kepadanya bahwa ia pernah salat bermakmum di belakang sahabat Abu Bakar As-Siddiq r.a. dalam salat Magrib. Lalu sahabat Abu Bakar dalam dua rakaat pertamanya membaca Ummul Qur'an dan dua surat mufassal yang pendek. Dalam rakaat yang ketiganya ia membaca Al-Qur'an pula. Abu Abdullah As-Sanabiji melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mendekatkan dirinya kepada Abu Bakar, sehingga bajunya hampir saja bersentuhan dengan baju Abu Bakar. Maka ia mendengarnya membaca Ummul Qur'an (surat Al-Fatihah) dan ayat berikut, yaitu firman-Nya: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami. (Ali Imran:8), hingga akhir ayat.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Nissi, bahwa ia pernah berada di sisi Umar ibnu Abdul Aziz dalam .masa kekhalifahannya. Lalu Umar berkata kepada Qais, "Apakah yang engkau sampaikan kepadaku dari Abu Abdullah?" Umar berkata pula, "Sejak aku mendengar ayat ini darinya, maka aku tidak pernah meninggalkannya, sekalipun sebelum itu aku tidak membaca demikian." Kemudian ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah yang engkau baca sebelum itu (sebelum mendengar asar tersebut)?" Umar ibnu Abdul Aziz menjawab bahwa ia sebelumnya selalu membaca: Katakanlah, "Dialah Allah Yang Maha Esa." (Al-Ikhlas: 1), hingga akhir surat.
Asar ini diriwayatkan pula oleh Al-Walid, dari Ibnu Jabir, dari Yahya ibnu Yahya Al-Gassani, dari Mahmud ibnu Labid, dari As-Sanabiji, bahwa ia salat di belakang Abu Bakar dalam salat Magrib-nya. Maka Abu Bakar membaca surat Al-Fatihah dan sebuah surat yang pendek dengan bacaan yang keras dalam dua rakaat pertamanya. Ketika ia bangkit dalam rakaat yang ketiganya dan memulai membaca Al-Qur'an, maka aku mendekat kepadanya hingga bajuku benar-benar menyentuh bajunya, dan ternyata dia membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan. (Ali Imran:8), hingga akhir ayat.
4 Tafsir Al-Jalalain
("Tuhan kami! Janganlah engkau gelincirkan hati kami) janganlah diselewengkan dari kebenaran dengan mencari-cari tafsirnya yang tidak layak bagi kami sebagaimana dialami oleh mereka (setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami) bimbingan ke arah perkara yang benar (dan berilah kami dari sisi-Mu rahmat) keteguhan hati (karena Engkaulah Yang Maha Memberi) karunia.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Mereka yang berakal sehat itu selalu berdoa, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami menyeleweng dari kebenaran setelah Engkau tunjuki kami. Berikanlah kami rahmat dari sisi-Mu berupa kesesuaian dan kemantapan hati. Sesungguhnya hanya Engkaulah pemberi dan penolak."
6 Tafsir as-Saadi
"Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur`an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Ada-pun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya me-lainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.' Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa), 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisiMu; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)'." (Ali Imran: 7-8).
(7) Allah تعالى memberitakan tentang keagunganNya dan ke-sempurnaan pengaturanNya, yakni bahwa Dia-lah yang Esa yang menurunkan kitab yang agung ini, yang tidak ditemukan dan tidak akan ditemukan tandingannya dan semisalnya dalam petunjuk, keindahan bahasa, kemukjizatan, dan kebaikannya bagi makhluk. Dan bahwasanya kitab ini mencakup yang muhkam, yakni yang jelas sekali artinya, yang terang, yang tidak samar tentangnya, dan juga mencakup ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung beberapa arti yang tidak ada satu pun dari arti-arti itu yang lebih kuat kalau hanya berpegang dengan ayat tersebut hingga disatukan kepada ayat yang muhkam. Orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, penyimpangan dan penyelewengan karena niat mereka yang buruk justru mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih tersebut. Mereka meng-ambilnya sebagai dalil demi memperkuat tulisan-tulisan mereka yang batil dan pemikiran-pemikiran mereka yang palsu, hanya untuk mengobarkan fitnah dan penyimpangan terhadap kitabullah, serta menjadikannya sebagai tafsiran untuknya sesuai dengan jalan dan madzhab mereka yang akhirnya mereka itu tersesat dan menyesatkan orang lain.
Adapun orang-orang yang berilmu lagi mendalam ilmunya yang ilmu dan keyakinan telah mencapai hati mereka, lalu mem-buahkan bagi mereka perbuatan dan pengetahuan, maka mereka ini mengetahui bahwa al-Qur`an itu semuanya dari sisi Allah, dan bahwa semua yang ada di dalamnya adalah haq, baik yang muta-syabih maupun yang muhkam, dan bahwasanya yang haq itu tidak akan saling bertentangan dan tidak saling berbeda. Dan karena mereka mengetahui dengan jelas bahwa ayat-ayat yang muhkam mengandung makna yang tegas dan jelas, maka mereka mengem-balikan ayat-ayat mustasyabih yang sering menimbulkan kebingung-an bagi orang-orang yang kurang ilmu dan pengetahuan, kepada yang muhkam. Mereka mengembalikan ayat-ayat yang mutasyabih kepada ayat-ayat yang muhkam hingga akhirnya seluruhnya menjadi muhkam dan mereka berkata, ﴾ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ ﴿ "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami."
﴾ وَمَا يَذَّكَّرُ ﴿ "Dan tidak dapat mengambil pelajaran, (dari padanya)," yakni perkara-perkara yang bermanfaat dan ilmu pengetahuan yang mendalam, ﴾ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ﴿ "melainkan orang-orang yang berakal," yakni orang-orang yang memiliki akal yang cerdas.
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sikap ini adalah tanda orang-orang yang berakal, dan bahwa mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih adalah sifat orang-orang yang pemikiran-nya sakit, akalnya rendah, dan tujuan-tujuannya yang buruk.
Dan FirmanNya, ﴾ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ ﴿ "Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah," apabila yang dimaksud dari takwil itu adalah pengetahuan tentang akibat dari suatu perkara, hasilnya, serta mengarah kepadanya, maka wajiblah berpatokan dengan, ﴾ إِلَّا ٱللَّهُۗ ﴿ "melainkan Allah;" di mana hanya Allah saja yang melakukan takwil dengan makna tersebut. Namun apabila takwil tersebut dimaksudkan dengan makna tafsir dan ilmu tentang arti dari perkataan tersebut, maka yang lebih baik adalah menyam-bung dengan kalimat sebelumnya, hingga hal ini menjadi sebuah pujian terhadap orang-orang yang ilmunya mendalam, yaitu bah-wasanya mereka mengetahui bagaimana menempatkan nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah, baik yang muhkamnya maupun yang mutasyabihnya.
Dan ketika konteksnya adalah tentang perpecahan orang-orang (sehingga) ada yang menyimpang dan ada yang istiqamah, maka mereka berdoa kepada Allah تعالى agar menetapkan mereka di atas keimanan seraya berkata,
(8) ﴾ رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا ﴿ "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan," maksudnya, janganlah Engkau menyimpangkan hati kami dari kebenaran kepada kebatilan, ﴾ بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ ﴿ "sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan ka-runiakanlah kepada kami rahmat dari sisiMu" yang dengannya akan baik segala kondisi kami, ﴾ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ ﴿ "karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)," yakni, karunia dan pemberian yang banyak. Ayat ini patut menjadi sebuah contoh metode yang harus ditempuh dalam memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu bahwasanya Allah تعالى menyebutkan tentang orang-orang yang ilmunya mendalam di mana mereka berdoa kepadaNya agar Allah tidak menjadikan hati-hati mereka condong setelah Dia memberi petunjuk kepada mereka. Dan Allah telah memberitakan pada ayat-ayat yang lain tentang sebab-sebab dari condongnya hati orang-orang yang me-nyimpang tersebut yaitu bahwa hal itu disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri, seperti FirmanNya,
﴾ فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ ﴿
"Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memaling-kan hati mereka." (Ash-Shaf: 5), dan FirmanNya,
﴾ ثُمَّ ٱنصَرَفُواْۚ صَرَفَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُم ﴿
"Sesudah itu mereka pun pergi. Allah telah memalingkan hati me-reka." (At-Taubah: 127), dan juga FirmanNya,
﴾ وَنُقَلِّبُ أَفۡـِٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ ﴿
"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur`an) pada per-mulaannya." (Al-An'am: 110).
Dan seorang hamba bila berpaling dari Rabbnya dan men-cintai musuhNya, ia mengetahui kebenaran namun ia berpaling darinya dan mengetahui kebatilan namun memilihnya, maka Allah palingkan ia kepada sesuatu yang ia berpaling kepadanya, dan Allah condongkan hatinya sebagai suatu hukuman baginya atas kecondongannya tersebut, dan tidaklah Allah menganiaya dirinya akan tetapi ia telah menganiaya dirinya sendiri, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri yang memerintahkan kepada ke-burukan, wallahu a'lam.