An-Nisa' Ayat 116
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا ( النساء: ١١٦ )
'Inna Allāha Lā Yaghfiru 'An Yushraka Bihi Wa Yaghfiru Mā Dūna Dhālika Liman Yashā'u Wa Man Yushrik Billāhi Faqad Đalla Đalālāan Ba`īdāan. (an-Nisāʾ 4:116)
Artinya:
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali. (QS. [4] An-Nisa' : 116)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Syirik adalah perbuatan dosa yang paling besar. Karena itu, sesungguhnya Allah Yang Maha Esa tidak akan mengampuni dosa syirik yakni mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun tanpa bertobat sebelum ia mati, dan Dia mengampuni dosa yang dilakukan selain syirik itu, baik dosa besar maupun kecil, baik yang bersangkutan memohon ampun atau tidak, bagi siapa yang Dia kehendaki berdasarkan kebijakanNya. Dan barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali sehingga sulit baginya untuk menemukan jalan kembali kepada kebenaran (Lihat: Surah an-Nisa /4: 48, 116; dan Surah Luqma n/31: 13).
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mengakui adanya tuhan lain selain Allah atau menyembah selain Allah, tetapi Dia mengampuni dosa lainnya. Dari ayat ini dipahami bahwa ada dua macam dosa, yaitu:
1.Dosa yang tidak diampuni Allah, dosa syirik.
2.Dosa yang dapat diampuni Allah, dosa selain dosa syirik.
Jika seseorang mensyarikatkan Allah, berarti di dalam hatinya tidak ada pengakuan tentang keesaan Allah. Karena itu hubungannya dengan Allah Yang Mahakuasa, Yang Maha Penolong, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah terputus: Ini berarti tidak ada lagi baginya penolong, pelindung, pemelihara, seakan-akan dirinya telah lepas dari Tuhan Yang Maha Esa. Ia telah sesat dan jauh menyimpang dari jalan yang lurus yang diridai Allah, maka mustahil baginya mendekatkan diri kepada Allah.
Seandainya di dalam hati dan jiwa seseorang telah tumbuh syirik berarti hati dan jiwanya telah dihinggapi penyakit yang paling parah; tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Segala macam bentuk kebenaran dan kebaikan yang ada pada orang itu tidak akan sanggup mengimbangi, apalagi menghapuskan kejahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh syirik itu.
Hati seorang musyrik tidak berhubungan lagi dengan Allah, tetapi terpaut kepada hawa nafsu, loba dan tamak kepada harta benda yang tidak akan dapat menolongnya sedikit pun. Itulah sebabnya Allah menegaskan bahwa dosa syirik itu amat besar dan tidak akan diampuni-Nya.
Seandainya hati dan jiwa seseorang bersih dari syirik, atau ada cahaya iman di dalamnya, maka sekalipun ia telah mengerjakan dosa, hatinya akan ditumbuhi iman dan datang kepadanya petunjuk, maka ia akan bertobat, karena cahaya iman yang ada di dalam hatinya dapat bersinar kembali. Karena itulah Allah akan mengampuni dosanya karena bukan dosa syirik.
An-Nisa' 48 telah menerangkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi akan mengampuni dosa selain dari dosa itu. Pengulangan pernyataan itu adalah untuk menegaskan kepada orang yang beriman agar mereka menjauhi syirik. Hendaklah mereka memupuk tauhid di dalam hati mereka, karena tauhid itu adalah dasar agama.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Dalam pembahasan yang lalu telah kami ketengahkan makna ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu., hingga akhir ayat.
Telah kami sebutkan pula hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat ini pada permulaan surat (yakni surat An-Nisa).
Firman Allah Swt.:
Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
Yakni sesungguhnya dia telah menempuh jalan selain jalan yang benar, dan telah tersesat dari jalan hidayah, jauh dari kebenaran. Ini berarti dia membinasakan dirinya sendiri, merugi di dunia dan akhirat, terlewatkan olehnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan siapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya) dari kebenaran.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Tempat kembali yang menyakitkan itu diperuntukkan bagi orang-orang seperti itu, karena mereka telah memusuhi Islam. Sikap memusuhi Islam sama dengan sikap menyekutukan Allah. Setiap dosa dapat diampuni kecuali dosa syirik, menyembah selain Allah dan menentang Rasulullah saw. Sebab, Allah memang bersifat pengampun kecuali terhadap dosa syirik. Dia akan mengampuni dosa selain syirik. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam beribadah dan perwalian, berarti telah sesat dan jauh dari kebenaran, karena merusak akal dan jiwanya.
6 Tafsir as-Saadi
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan (se-suatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisa`: 115-116).
(115) Maksudnya, barangsiapa yang menyelisihi Rasulullah ﷺ dan membangkang terhadap apa yang dibawa olehnya,﴾ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ ﴿ "sesudah jelas kebenaran baginya" dengan dalil-dalil al-Qur`an dan penjelasan as-Sunnah, ﴾ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ﴿ "dan meng-ikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin," jalan mereka adalah cara mereka dalam berakidah dan beramal, ﴾ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ ﴿ "Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu," yaitu Kami membiarkannya dengan apa yang dipilih untuk dirinya dan Kami menghinakannya, Kami tidak membimbingnya kepada kebaikan, karena ia telah menyaksikan kebenaran dan mengetahuinya, na-mun tidak mengikutinya, maka balasan baginya dari Allah adalah sebuah keadilan yaitu membiarkannya tetap dalam kesesatannya dengan kondisi bingung hingga kesesatannya bertambah di atas kesesatan, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman,
﴾ فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ ﴿
"Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memaling-kan hati mereka." (Ash-Shaff: 5).
Dan di dalam ayat lain Allah berfirman,
﴾ وَنُقَلِّبُ أَفۡـِٔدَتَهُمۡ وَأَبۡصَٰرَهُمۡ كَمَا لَمۡ يُؤۡمِنُواْ بِهِۦٓ أَوَّلَ مَرَّةٖ ﴿
"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur`an) pada per-mulaannya." (Al-An'am: 110).
Pemahaman terbalik ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak menentang Rasul, ﴾ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ﴿ "dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin," di mana niatnya adalah mengharap ridha Allah dan mengikuti RasulNya serta konsisten terhadap jamaah kaum Muslimin, lalu terjadi atau hendak mela-kukan beberapa dosa di mana hal tersebut merupakan tuntutan-tuntutan jiwa dan dorongan-dorongan nafsu, niscaya Allah tidak akan membiarkan ia dan setannya, akan tetapi Allah akan meng-arahkannya dengan kasih sayangNya, memberikan karuniaNya atas dirinya dengan menjaga dan melindunginya dari keburukan, sebagaimana Allah سبحانه وتعالى berfirman tentang Yusuf عليه السلام,
﴾ كَذَٰلِكَ لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلۡفَحۡشَآءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُخۡلَصِينَ 24 ﴿
"Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24).
Maksudnya, disebabkan karena keikhlasannya, maka Kami palingkan dirinya dari keburukan, demikian juga setiap orang yang ikhlas, seperti yang ditunjukkan oleh keumuman dari alasan itu, dan FirmanNya, ﴾ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ ﴿ "Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam" maksudnya Kami akan menyiksanya di dalam neraka tersebut dengan siksaan yang keras, ﴾ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ﴿ "dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali," yaitu tempat berpulang dan bersandar.
(116) Ancaman ini yang menjadi akibat dari pertentangan dan perselisihan terhadap kaum Mukminin memiliki tingkatan-tingkatan yang tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah semata, yang sesuai dengan pelaku dosa, baik kecil maupun besar, di antaranya ada yang menyebabkan kekekalan dalam neraka dan mengakibatkan segala kehinaan, dan ada juga yang tidak seperti itu, dan kira-kira ayat yang kedua ini adalah sebagai perincian dari ayat yang mutlak tersebut, yaitu bahwa kesyirikan itu tidaklah akan diampuni oleh Allah سبحانه وتعالى, karena mengandung pelecehan ter-hadap Rabb semesta alam dan juga terhadap keesaanNya, penya-maan antara makhluk yang sama sekali tidak memiliki manfaat dan mudharat bagi dirinya dengan Dzat yang memiliki manfaat dan mudharat, di mana tidak ada kenikmatan sedikit pun kecuali dariNya, dan tidak menolak keburukan kecuali diriNya, yang me-miliki kesempurnaan mutlak dari segala sisinya, dan Mahakaya dengan segala bentuknya, maka di antara hal yang paling besar kezhalimannya dan paling jauh kesesatannya adalah tidak ikhlas-nya ibadah untuk Dzat yang memiliki kondisi dan keagungan seperti itu, dan mengarahkan ibadah itu kepada makhluk yang tidak memiliki sifat kesempurnaan sedikit pun dan tidak memiliki sifat kekayaan sedikit pun bahkan yang tidak memiliki apa pun kecuali ketiadaan, tidak ada wujudnya, tidak ada kesempurnaan-nya, dan tidak ada kekayaannya, serta hanya memiliki kefakiran dari segala sisinya. Sedangkan kesalahan dan dosa selain syirik, maka ia terletak di bawah kehendak Allah, bila Dia menghendaki, Dia akan mengampuninya dengan rahmat dan hikmahNya, dan bila Dia menghendaki, Dia akan menyiksa dan menghukumnya dengan keadilan dan hikmahNya.
Ayat yang mulia ini telah dijadikan dalil bahwa ijma' umat adalah hujjah, dan bahwa ijma' itu adalah ma'shum, (terjaga) dari kesalahan. Yang demikian itu karena Allah telah mengancam orang yang menyelisihi jalan kaum Mukminin dengan kehinaan dan api neraka, jalan kaum Mukminin ini adalah sebuah kata tunggal yang bersandar, meliputi segala perkara yang ada pada kaum Mukminin, baik akidah maupun perbuatan, lalu bila mereka telah sepakat atas wajibnya suatu perkara atau menganjurkannya atau mengharam-kannya atau memakruhkannya atau membolehkannya, maka inilah jalan mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi mereka pada suatu hal dari itu semua setelah terjadinya ijma' mereka atas hal tersebut, maka sesungguhnya ia telah mengikuti selain jalan mereka.
Dan Firman Allah سبحانه وتعالى yang menunjukkan akan hal tersebut adalah,
﴾ كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ ﴿
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (Ali Imran: 110).
Konteks dalil dari ayat ini adalah bahwa Allah سبحانه وتعالى mengabar-kan bahwa kaum Mukminin dari umat ini tidaklah menyuruh kecuali kepada yang ma'ruf, dan bila mereka telah sepakat atas wajibnya suatu perkara atau sunnahnya, maka perkara tersebut di antara hal yang mereka perintahkan, sehingga wajiblah dengan nash ayat ini bahwa perkara itu menjadi ma'ruf, dan tidak ada hal lagi selain dari yang ma'ruf itu kecuali yang mungkar, demikian juga bila mereka telah sepakat atas larangan dari suatu perkara, maka perkara itu adalah di antara hal yang mereka larang, dan tidaklah hal itu kecuali suatu yang mungkar.
Seperti yang demikian itu juga Firman Allah yang lain,
﴾ وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ﴿
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143).
Allah سبحانه وتعالى mengabarkan bahwa umat ini telah Dia jadikan seba-gai umat yang pertengahan, artinya adil dan pilihan, agar mereka menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, maksudnya (menjadi saksi) dalam segala perkara, bila mereka telah bersaksi atas suatu hukum bahwa Allah سبحانه وتعالى memerintahkannya atau melarang darinya atau membolehkannya, sesungguhnya kesaksian mereka itu adalah ma'shum, karena mereka mengetahui apa yang mereka persaksikan dan berlaku adil dalam hal tersebut, sekiranya saja perkara ini berbeda dengan yang demikian itu, maka mereka tidaklah akan menjadi orang-orang yang adil dalam persaksian mereka dan tidak pula mereka mengetahuinya.
Contoh yang sama juga dalam Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ﴿
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya)." (An-Nisa`: 59).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwasanya perkara yang tidak mereka perselisihkan akan tetapi mereka sepakati, maka tidaklah mereka diperintahkan untuk mengembalikannya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah, yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali karena perkara tersebut sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah dan tidak menyelisihi keduanya.
Dalil-dalil ini dan yang semacamnya menunjukkan keyakinan bahwa ijma' umat ini adalah suatu hujjah yang kuat, karena itulah Allah menjelaskan jeleknya kesesatan kaum musyrikin dalam Fir-manNya,