An-Najm Ayat 18
لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى ( النجم: ١٨ )
Laqad Ra'aá Min 'Āyāti Rabbihi Al-Kubraá (an-Najm 53:18)
Artinya:
Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar. (QS. [53] An-Najm : 18)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Sungguh, pada saat itu dia, yakni Nabi Muhammad, telah melihat sebagian tanda-tanda keagungan dan kemuliaan Tuhannya yang paling besar.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Ayat ini menerangkan bahwa dengan melihat Sidratul Muntaha, berarti Muhammad saw telah melihat sebagian tandatanda kebesaran Allah yang merupakan keajaiban dari kekuasaanNya. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lain-lain bahwa saat itu Muhammad saw melihat suatu lambaian hijau dari surga yang memenuhi ufuk (arah pandangan). Maka hendaklah kita tidak membatasi apa yang telah dilihat oleh Muhammad saw dengan mata kepalanya, setelah diterangkan secara samar-samar dalam Al-Qur'an tentang hal itu. Yang jelas ialah bahwa Nabi telah melihat tanda-tanda kebesaran Allah swt yang tidak terbatas.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. (An-Najm: 18)
Semakna dengan firman-Nya:
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (Al-Isra: 1)
yang menunjukkan akan kekuasaan dan kebesaran Kami. Berdasarkan kedua ayat ini sebagian ulama ahli sunnah wal jama'ah mengatakan bahwa penglihatan di malam itu tidak terjadi, karena Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. (An-Najm: 18)
Seandainya dia melihat Tuhannya, niscaya hal tersebut diberitakan dan orang-orang pun mengatakan hal yang sama. Pembahasan mengenai masalah ini telah dikemukakan di dalam surat Al-Isra.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Talhah, dari Al-Walid ibnu Qais, dari Ishaq ibnu Abul Kahtalah, bahwa Muhammad telah mengatakan, yang menurutnya dia menerimanya dari Ibnu Mas'ud r.a. yang telah mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad tidak melihat Jibril a.s. dalam rupanya yang asli kecuali hanya dua kali. Yang pertama kali Nabi Saw. meminta kepada Jibril agar menampilkan rupa aslinya kepadanya, lalu beliau menyaksikan rupa aslinya yang memenuhi cakrawala langit. Adapun yang kedua kalinya ialah di saat beliau Saw. naik bersamanya (di malam Isra). Firman Allah Swt.: sedangkan dia berada di ufuk yang tinggi, kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, makajadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 7-10) Setelah Jibril a.s. melapor kepada Tuhannya, maka kembalilah ia kepada ujudnya semula, lalu bersujud. Firman Allah Swt.: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang paling besar. (An-Najm: 13-18) Yakni bentuk Malaikat Jibril a.s. yang aslinya.
Demikianlah menurut riwayat Imam Ahmad, tetapi predikatnya garib.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Sesungguhnya dia telah melihat) pada malam itu (sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabbnya yang paling besar) yang paling agung, dimaksud adalah sebagian dari tanda-tanda itu, maka dia melihat sebagian dari keajaiban-keajaiban alam malakut, dan Rafraf berwarna hijau menutupi cakrawala langit, dan malaikat Jibril yang memiliki enam ratus sayap.
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Ia benar-benar telah melihat banyak sekali ayat-ayat Allah dan keajaiban-keajaiban yang begitu besar.
6 Tafsir as-Saadi
"Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Dia diajari oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan dia (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sungguh Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya yang paling besar." (An-Najm: 1-18).
Makkiyah
"Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang."
(1) Allah سبحانه وتعالى bersumpah dengan bintang pada saat terbenam yaitu ketika bergeser dari ufuk pada akhir malam di saat malam akan beranjak dan siang akan menjelang, karena pada yang demi-kian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah سبحانه وتعالى yang mengharus-kan untuk dijadikan sebagai sumpah. Sesuai pendapat yang kuat, kata اَلنَّجْمُ adalah isim jenis yang mencakup seluruh bintang. Allah سبحانه وتعالى bersumpah dengan bintang untuk menunjukkan kebenran yang diberitakan oleh Rasulullah a sebagai wahyu ilahi, karena di da-lamnya terdapat kondisional yang menakjubkan, karena Allah سبحانه وتعالى menjadikan bintang sebagai perhiasan langit, begitu juga dengan wahyu dan pengaruh-penga-ruhnya dijadikan perhiasan untuk bumi. Andai tidak ada ilmu yang diwarisi dari para nabi, tentu manusia berada dalam kegelapan melebihi gelapnya malam yang pekat.
(2) Tujuan sumpah pada ayat ini adalah penyucian untuk Rasulullah a dari kesesatan dalam ilmu dan tujuannya, karena Rasulullah a adalah orang yang mendapat petunjuk dalam ilmu-nya, berniat baik dan pemberi nasihat untuk manusia. Lain halnya dengan orang-orang sesat yang ilmunya rusak dan niatnya buruk, Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ صَاحِبُكُمۡ ﴿ "Kawanmu," agar mereka ingat keju-juran dan petunjuk yang ada pada Nabi Muhammad a, dan perihal tentang Muhammad a tidak samar bagi mereka.
(3-4) ﴾ وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ﴿ "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya," yakni, ucapannya bukan-lah berdasarkan hawa nafsunya. ﴾ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ﴿ "Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)," artinya, ia hanya mengikuti wahyu yang disampaikan padanya berupa hidayah, takwa dalam dirinya dan pada yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa as-Sunnah (hadits) adalah wahyu dari Allah سبحانه وتعالى untuk Rasul-Nya a, sebagaimana yang disebutkan dalam Firman Allah سبحانه وتعالى,
﴾ وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ ﴿
"Dan Allah menurunkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah." (An-Nisa`: 113).
Muhammad a terjaga dari kesalahan terhadap apa yang disampaikan dari Allah سبحانه وتعالى dan dari syariat, sebab perkataan beliau tidak bersumber dari hawa nafsu, namun bersumber dari wahyu.
(5) Selanjutnya Allah سبحانه وتعالى memberitahu malaikat yang me-nyampaikan kepada Rasulullah a, yaitu malaikat Jibril عليه السلام, yang merupakan malaikat paling utama, kuat, dan sempurna. Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ ﴿ "Ia diajari oleh (Jibril) yang sangat kuat," artinya, turun membawa wahyu untuk Rasulullah, yang sangat kuat, baik secara lahir maupun batin, kuat untuk melaksanakan perintah Allah سبحانه وتعالى, kuat untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah a, serta menjaganya dari pencurian setan atau menjaga agar setan tidak memasukkan sesuatu ke dalam wahyu, dan inilah cara Allah سبحانه وتعالى menjaga wahyuNya yang diturunkan bersama ma-laikat kuat lagi terpercaya.
(6) ﴾ ذُو مِرَّةٖ ﴿ "Yang mempunyai akal yang cerdas," yakni, memi-liki kekuatan, akhlak yang baik, dan keelokan lahir batin, ﴾ فَٱسۡتَوَىٰ ﴿ "dan dia menampakkan diri dengan rupa yang asli," yakni, Jibril عليه السلام.
(7) ﴾ وَهُوَ بِٱلۡأُفُقِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ﴿ "Sedang dia berada di ufuk yang tinggi," yaitu berada di ufuk langit di atas bumi, itulah tempat bersemayamnya ruh yang tidak bisa dicapai dan tidak mungkin bagi setan untuk sampai kepadanya.
(8) ﴾ ثُمَّ دَنَا ﴿ "Kemudian dia mendekat," yakni, Jibril عليه السلام men-dekati Nabi a untuk menyampaikan wahyu pada beliau, ﴾ فَتَدَلَّىٰ ﴿ "lalu bertambah dekat lagi," kepada Muhammad a dari ufuk yang tinggi.
(9) ﴾ فَكَانَ ﴿ "Maka jadilah dia," yakni, jarak dekatnya dengan Muhammad a, ﴾ قَابَ قَوۡسَيۡنِ ﴿ "(sejarak) dua ujung busur panah," yakni seukuran antara dua ujung busur panah, ﴾ أَوۡ أَدۡنَىٰ ﴿ "atau lebih dekat (lagi)," artinya lebih dekat dari dua ujung busur panah. Ini menun-jukkan sempurnanya penyampaian risalah kepada Rasulullah a secara langsung, tidak ada perantara antara Rasulullah a dengan malaikat Jibril عليه السلام.
(10) ﴾ فَأَوۡحَىٰٓ ﴿ "Lalu Dia (Allah) menyampaikan wahyu," dengan perantara Jibril عليه السلام, ﴾ إِلَىٰ عَبۡدِهِۦ ﴿ "kepada hambaNya," Muhammad ﴾ مَآ أَوۡحَىٰ ﴿ "apa yang telah Allah wahyukan," yaitu yang diwahyukan Allah سبحانه وتعالى berupa syariat agung dan berita-berita yang benar.
(11-12) ﴾ مَا كَذَبَ ٱلۡفُؤَادُ مَا رَأَىٰٓ ﴿ "Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya," yakni, hati dan pandangan Rasulullah a sepakat terhadap wahyu yang disampaikan oleh Allah سبحانه وتعالى kepadanya. Pen-dengaran, penglihatan, dan hati Rasulullah a sama. Dan ini me-nunjukkan sempurnanya wahyu yang disampaikan Allah سبحانه وتعالى kepa-daNya. Rasulullah a menerimanya secara langsung, yang tidak ada keraguan dan syubhat di dalamnya. Hati Rasulullah a tidak mendustakan yang dilihat oleh matanya dan Rasulullah a tidak meragukan hal itu.
Kemungkinan lain maksud yang dilihat Rasulullah a itu adalah peristiwa yang dilihat pada malam Isra` berupa tanda-tanda kebesaran Allah سبحانه وتعالى yang agung. Rasulullah a meyakini secara be-nar dengan hati dan penglihatannya. Inilah penafsiran yang benar dalam ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud ada-lah Rasulullah a melihat Rabbnya pada malam Isra` serta berbicara denganNya. Ini adalah penafsiran yang dipilih oleh banyak ulama n. Atas dalil ini mereka menegaskan bahwa Rasulullah a pernah melihat Rabbnya pada saat di dunia. Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu yang dimaksud adalah Jibril عليه السلام, sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat, Muhammad a meli-hat Jibril عليه السلام dalam wujud aslinya, di mana Rasulullah a pernah dua kali[107] melihat dalam wujud asli, pertama pada saat di ufuk tinggi dan kedua di atas langit ketujuh pada saat malam Isra` bersama Rasulullah a.
(13-14) Karena itulah Allah سبحانه وتعالى berfirman, ﴾ وَلَقَدۡ رَءَاهُ نَزۡلَةً أُخۡرَىٰ ﴿ "Dan sungguh Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain," artinya, Nabi Muhammad a melihat Jibril عليه السلام lagi ketika turun m e n g h a m p i r i n y a ﴾ عِندَ سِدۡرَةِ ٱلۡمُنتَهَىٰ ﴿ "(yaitu) di Sidratil Muntaha," yaitu sebuah pohon yang sangat besar berada di atas langit ketujuh, disebut demikian karena di tempat itulah semua yang naik dari bumi berhenti dan dari situlah wahyu Allah سبحانه وتعالى turun. Atau karena di situlah batas akhir ilmu seluruh makhluk, artinya karena keberadaannya di atas langit dan bumi, di situlah batas akhir ilmu atau karena hal lainnya, wallahu a'lam. Nabi Muhammad a melihat Jibril di tempat itu, disitulah tempat berse-mayamnya ruh yang suci dan indah, yang tidak bisa didekati setan dan ruh-ruh keji lainnya.
(15) Di dekat pohon itu terdapat ﴾ جَنَّةُ ٱلۡمَأۡوَىٰٓ ﴿ "surga tempat tinggal," yaitu surga yang mencakup seluruh kenikmatan yang menjadi tempat terakhir seluruh angan, dikehendaki oleh seluruh keinginan dan di mana seluruh keinginan berada di surga itu. Hal ini menunjukkan bahwa surga itu berada di tempat yang tertinggi dan berada di atas tujuh langit.
(16) ﴾ إِذۡ يَغۡشَى ٱلسِّدۡرَةَ مَا يَغۡشَىٰ ﴿ "Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya," yakni Sidratil Muntaha itu diliputi oleh sesuatu yang agung yang sifatnya tidak diketahui siapa pun kecuali oleh Allah سبحانه وتعالى.
(17) ﴾ مَا زَاغَ ٱلۡبَصَرُ ﴿ "Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling," artinya tidak berpaling ke kiri dan ke kanan dari fokusnya, ﴾ وَمَا طَغَىٰ ﴿ "dan tidak (pula) melampauinya," artinya pandangan beliau tidak melewatinya. Ini adalah sempurnanya etika Rasulullah a, berdiri di tempat yang telah disiapkan Allah سبحانه وتعالى, tidak bergeser dan tidak melampauinya. Ini merupakan etika agung yang paling sempurna yang mengungguli akhlak seluruh manusia, baik yang pertama maupun yang terakhir. Kekeliruan dalam hal ini ada dua kemung-kinan; pertama karena seorang hamba tidak menunaikan perintah Allah سبحانه وتعالى atau menunaikannya namun tidak sempurna dengan cara bermalas-malasan atau secara berlebihan, dan kemungkinan kedua adalah karena melampaui batas, baik ke kanan maupun ke kiri. Semua hal ini tidak terdapat pada diri Rasulullah a.
(18) ﴾ لَقَدۡ رَأَىٰ مِنۡ ءَايَٰتِ رَبِّهِ ٱلۡكُبۡرَىٰٓ ﴿ "Sungguh dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya yang paling besar," berupa surga, neraka, dan hal-hal lain yang dilihat Nabi a pada malam Isra`.