وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاۤسَّاۗ ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهٖۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ( المجادلة: ٣ )
Wa Al-Ladhīna Yužāhirūna Min Nisā'ihim Thumma Ya`ūdūna Limā Qālū Fataĥrīru Raqabatin Min Qabli 'An Yatamāssā Dhālikum Tū`ažūna Bihi Wa Allāhu Bimā Ta`malūna Khabīrun. (al-Mujādilah 58:3)
Artinya:
Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. [58] Al-Mujadalah : 3)
1 Tafsir Ringkas Kemenag
Dan mereka yang menzihar istrinya, lalu menyesali perbuatannya, kemudian segera menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan kepada istrinya itu, maka mereka para suami yang telah menzihar istrinya itu diwajibkan membayar kafarat, yakni tebusan dengan memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu bercampur kembali seperti sebelum menziharnya. Demikianlah yang diajarkan Allah kepadamu, kaum muslim tentang hukum zihar dan panduan membayar tebusannya, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan agar orang-orang beriman menyadari kemahatelitian Allah sehingga tidak berbuat curang dalam hidupnya.
2 Tafsir Lengkap Kemenag
Pada ayat-ayat ini diterangkan syarat-syarat bagi suami-istri agar dapat bercampur atau melaksanakan perkawinan kembali jika mereka telah bercerai, yaitu pihak suami wajib membayar kafarat. Kewajiban membayar kafarat itu disebabkan telah terjadinya zihar dan adanya kehendak suami mencampuri istrinya ('aud).
Dalam ayat ini diterangkan tiga tahap kafarat zihar. Tahap pertama harus diupayakan melaksanakannya. Kalau tahap pertama tidak sanggup dilaksanakan, boleh menjalankan tahap kedua. Bila tahap kedua juga tidak sanggup melaksanakannya, wajib dijalankan tahap ketiga. Tahap-tahap itu ialah:
1.Memerdekakan seorang budak sebelum melaksanakan persetubuhan kembali. Ini adalah ketetapan Allah yang ditetapkan bagi seluruh orang yang beriman, agar mereka berhati-hati terhadap perbuatan mungkar dan membayar kafarat itu sebagai penghapus dosa perbuatan mungkar. Allah memperhatikan dan mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, dan akan mengampuni semua hamba-Nya yang mau menghentikan perbuatan mungkar dan melaksanakan hukum-hukum Allah. Pada saat ini perbudakan telah hapus dari permukaan bumi, karena itu kafarat tingkat pertama ini tidak mungkin dilaksanakan lagi. Memerdekakan budak sebagai kafarat, termasuk salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yang pernah membudaya di kalangan bangsa-bangsa di dunia, seperti yang terjadi di Amerika, Eropa, dan lain-lain. Oleh karena itu, agama Islam adalah agama yang berusaha menghapus perbudakan dan menetapkan cara-cara untuk melenyapkannya dengan segera.
2.Jika yang pertama tidak dapat dilakukan, hendaklah puasa dua bulan berturut-turut. Berturut-turut merupakan salah satu syarat dari puasa yang akan dilakukan itu. Hal ini berarti jika ada hari-hari puasa yang tidak terlaksana seperti puasa sehari atau lebih kemudian tidak puasa pada hari yang lain dalam masa dua bulan itu, maka puasa itu tidak dapat dijadikan kafarat, walaupun tidak berpuasa itu disebabkan perjalanan jauh (safar) atau sakit. Puasa itu harus dilakukan sebelum melakukan persetubuhan suami istri.
3.Jika yang kedua tidak juga dapat dilaksanakan, maka dilakukan tahap ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
Zihar adalah semacam sumpah, yaitu sumpah suami yang menyatakan bahwa istrinya haram dicampuri seperti haramnya mencampuri ibunya. Oleh karena itu, yang wajib membayar kafarat ialah suami yang melakukan zihar saja, karena dialah yang bersumpah, sedang istri yang tidak pernah melakukan zihar tidak wajib membayar kafarat.
Jumlah atau bentuk kafarat zihar yang ditetapkan itu adalah jumlah atau bentuk yang sangat tinggi, apalagi jika diingat bahwa hukum itu berlaku bagi seluruh kaum Muslimin, baik yang kaya atau yang miskin. Bagi seorang yang kaya tidak ada kesulitan membayar kafarat itu, tetapi merupakan hal yang sulit dan berat membayarnya bagi orang-orang miskin.
Menghadapi masalah yang seperti ini, syariat Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat meringankan suatu beban yang dipikulkan Allah kepada kaum Muslimin, yaitu prinsip, "Kesukaran itu menimbulkan kemudahan," asal saja kesukaran itu benar-benar suatu kesukaran yang tidak dapat diatasi, disertai dengan keinginan di dalam hati untuk mencari keridaan Allah.
Sehubungan dengan ini, pada kelanjutan hadis Khuwailah binti Malik yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dikatakan:
Maka Rasulullah saw berkata, "Hendaklah ia memerdekakan seorang budak." Khaulah berkata, "Ia tidak sanggup mengusahakannya." Nabi berkata, "(Kalau demikian) maka ia berpuasa dua bulan berturut-turut." Khaulah berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ia (suamiku) adalah seorang yang telah tua bangka, tidak sanggup lagi berpuasa." Nabi berkata, "Maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin." Khaulah berkata, "Ia tidak mempunyai sesuatu pun yang akan disedekahkannya." Rasulullah saw Berkata, "(Kalau demikian) maka sesungguhnya aku akan membantunya dengan segantang tamar." Khaulah berkata, "Dan aku akan membantunya pula dengan segantang tamar." Berkata Rasulullah saw, "Engkau benar-benar baik, pergilah, maka beritahukanlah atas namanya, beri makanlah dengan tamar ini enam puluh orang fakir-miskin." (Riwayat Abu Dawud)
Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Khaulah mengatakan kepada Rasulullah saw bahwa orang yang paling miskin di negeri ini adalah keluarganya. Maka Rasulullah saw menyuruh Khaulah membawa kurma sebagai kafarat itu pulang ke rumahnya untuk dimakan keluarganya sendiri.
Pada dasarnya agama Islam tidak menyetujui adanya zihar itu, bahkan memandangnya sebagai perbuatan mungkar dan dosa, karena perbuatan zihar itu adalah perbuatan yang tidak mempunyai dasar, mengatakan sesuatu yang bukan-bukan. Akan tetapi, karena zihar itu adalah suatu kebiasaan bangsa Arab Jahiliah, sedang untuk menghapus kebiasaan itu dalam waktu yang singkat akan menimbulkan kegoncangan pada masyarakat Islam yang baru tumbuh, sedang masyarakat itu berasal dari orang-orang Arab masa Jahiliah, maka agama Islam tidak langsung menghapuskan kebiasaan tersebut. Agama Islam menghilangkan semua akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan zihar itu dengan menetapkan waktu menunggu empat bulan. Dalam masa itu, suami boleh menceraikan istrinya atau membayar kafarat bagi yang ingin mencampuri istrinya kembali, yakni mencabut kembali ucapan zihar yang telah diucapkannya. Jadi zihar itu berasal dari hukum Arab masa Jahiliah yang telah dihapuskan oleh Islam. Oleh karena itu, bagi negara-negara atau umat Islam yang tidak mengenal zihar tersebut, tidak perlu mencantumkan hukum itu apabila mereka membuat suatu undang-undang perkawinan.
Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah menerangkan kewajiban membayar kafarat itu bagi suami yang telah menzihar istrinya adalah untuk memperdalam jiwa tauhid, mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai rasul Allah, dan agar berhati-hati mengucapkan suatu perkataan, sehingga tidak mengadakan kedustaan dan mengatakan yang bukan-bukan. Dengan demikian, tertanamlah dalam hati setiap orang yang beriman keinginan melaksanakan semua hukum-hukum Allah dengan sebaik-baiknya. Tertanam juga dalam hati mereka bahwa mengingkari hukum-hukum Allah itu akan menimbulkan kesengsaraan di dunia maupun di akhirat nanti.
3 Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah Swt.:
Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3)
Ulama Salaf dan para imam berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud oleh firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kembali' ialah kembali mengulangi kata-kata zihar-nya, tetapi pendapat ini batil. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan pendapat Daud yang diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Bukair ibnul Asyaj dan Al-Farra, serta segolongan ulama ilmu kalam (tauhid).
Imam Syafii mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap memegang istrinya sesudah ia men-zihar--nya selama suatu masa yang memungkinkan baginya dalam masa itu menjatuhkan talaknya, tetapi dia tidak menjatuhkannya.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, makna yang dimaksud ialah bila suami yang bersangkutan hendak kembali menyetubuhi istri yang telah di-zihar-nya, atau bertekad akan menyetubuhinya, maka istrinya itu tidak halal baginya sebelum ia membayar kifarat zihar-nya.
Telah diriwayatkan pula dari Malik, bahwa makna yang dimaksud ialah tekad untuk menyetubuhi atau tekad untuk tetap memegangnya sebagai istri. Dan menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya, makna yang dimaksud ialah hendak menyetubuhi.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila si suami kembali melakukan zihar lagi sesudah zihar diharamkan dan hukum Jahiliah mengenainya dihapuskan (yakni zihar sama dengan talak). Maka manakala seorang lelaki men-zihar istrinya, berarti istrinya itu haram baginya, dan status haramnya itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan membayar kifaratnya. Pendapat ini pulalah yang dianut oleh murid-murid Imam Abu Hanifah dan Al-Lais ibnu Sa'd.
Ibnu Lahi'ah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ata, dari Sa' id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Yakni mereka bermaksud akan menyetubuhi istri-istri mereka yang telah mereka haramkan atas diri mereka melalui zihar.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menyetubuhi kemaluan. Al-Hasan menilai tidak mengapa melakukan persetubuhan di luar kemaluan sebelum yang bersangkutan membayar kifarat zihar-nya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum kedua suami istri itu bercampur. (Al-Mujadilah: 3) Yang dimaksud dengan bercampur ialah nikah (jimak). Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Az-Zuhri, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh bagi suami yang telah men-zihar istrinya mencium istri yang di-zihar-nya, tidak boleh pula menyetubuhinya sebelum ia membayar kifarat zihar-nya.
Ahlus Sunan telah meriwayatkan melalui hadis Ikrimah, dari Ibnu Abbas:
bahwa seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah men-zihar istriku, lalu aku menyetubuhinya sebelum kubayar kifaratnya." Rasulullah Saw. balik bertanya, "Apakah yang mendorongmu melakukan hal itu? Semoga Allah merahmatimu." Lelaki itu menjawab, "Aku melihat kemilauan gelang kakinya yang terkena sinar rembulan." Rasulullah Saw. bersabda: Jangan kamu dekati dia sebelum kamu kerjakan apa yang telah diperintahkan Allah Swt. kepadamu.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib sahih. Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ikrimah secara mursal. Menurut Imam Nasai, yang berpredikat mursal-lah yang lebih mendekati kebenaran.
Firman Allah Swt.:
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak. (Al-Mujadilah: 3)
Yakni memerdekakan seorang budak secara utuh, sebelum yang bersangkutan menggauli istri yang telah di-zihar-nya. Dalam ayat ini sebutan raqabah atau budak tidak diikat dengan keimanan, sedangkan di dalam kifarat membunuh diikat dengan keimanan. Maka Imam Syafii rahimahullah menakwilkan kemutlakan dalam ayat ini, bahwa ia diikat dengan pengertian budak yang ada pada kifarat pembunuhan; mengingat subjeknya sama, yaitu memerdekakan budak.
Dan Imam Syafii mendukung pendapatnya ini dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik berikut sanadnya, dari Mu'awiyah ibnul Hakam As-Sulami sehubungan dengan kisah seorang budak perempuan berkulit hitam. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Merdekakanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman.
Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab musnadnya, demikian pula Imam Muslim di dalam kitab sahihnya.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair, dari Ismail ibnu Muslim ibnu Yasar, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Sesungguhnya aku telah men-zihar istriku dan aku menggaulinya sebelum kubayar kifaratnya." Rasulullah Saw. balik bertanya, "Bukankah Allah Swt. telah berfirman, 'Sebelum keduanya bercampur'?" Lelaki itu menjawab, "Aku terangsang olehnya." Rasulullah Saw. bersabda: Tahanlah dirimu (dari bersetubuh) hingga kamu membayar kifaratmu.
Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa tiada suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang lebih baik daripada ini; Ismail ibnu Muslim orangnya masih diperbincangkan, tetapi banyak ulama yang mengambil riwayat darinya. Di dalam hadis ini terkandung hukum fiqih yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak memerintahkan kepada lelaki itu kecuali hanya membayar satu kali kifarat.
Firman Allah Swt.:
Demikianlah yang diajarkan kepadamu. (Al-Mujadilah: 3)
Yakni sebagai peringatan bagimu.
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 3)
Yaitu mengetahui semua yang bermaslahat lagi sesuai dengan keadaan kalian.
4 Tafsir Al-Jalalain
(Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan) tentang zihar ini, seumpama dia bersikap berbeda dengan apa yang telah dikatakannya itu, yaitu dengan cara tetap memegang istri yang diziharnya. Sedangkan perbuatan ini jelas bertentangan dengan maksud tujuan daripada perkataan zihar, yaitu menggambarkan istri dengan sifat yang menjadikannya haram bagi dia (maka memerdekakan seorang budak) maksudnya wajib atasnya memerdekakan seorang budak (sebelum kedua suami istri itu bercampur) bersetubuh. (Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan).
5 Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah)
Adapun mereka yang pada mulanya menjatuhkan sumpah zihar tetapi kemudian menengok kembali ucapannya itu, menyadari kesalahannya dan menginginkan agar hubungan suami istri tetap berlanjut, mereka harus memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kembali berhubungan dengan istri. Memerdekakan hamba sahaya yang telah diwajibkan Allah itu merupakan pelajaran bagi kalian agar tidak kembali kepada perbuatan semula. Allah mengetahui semua yang kalian perbuat.